Kamis, 03 Desember 2015

Pengertian KILN - CALCINER PREHEATER Dalam Industri Semen

Berikut ini akan saya jelaskan mengenai pengertian Kiln - Calciner Preheater dalam industri semen.

1. Pendahuluan


Seperti telah kita ketahui bersama bahwa semen merupakan perekat hidraulik yang memiliki unsur-unsur utama klinker (campuran antara C3S, C2S, C4AF, dan C3A) dan gypsum (CaSO4. 2H2O). Klinker dibuat dengan bahan baku utama batu kapur (limestone sekitar 70% - 90%), tanah liat (clay sekitar 10% - 30 %), dan sisanya adalah bahan koreksi (0 – 10%). Bahan baku tersebut ditimbang dengan proporsi yang telah ditentukan sesuai dngan jenis semen yang akan kita buat kemudian digiling (terutama untuk proses kering) dan dibakar di sistem kiln.  Proses pembakaran bahan baku hingga berubah menjadi klinker serta proses pendinginan klinker hingga bertemperatur tertentu yang aman untuk digiling bersama gipsum sampai menjadi semen merupakan rangkaian proses pembuatan semen yang penting. Pada tulisan ini, pembahasan untuk sementara dibatasi pada proses pembakaran bahan baku menjadi klinker dan pendinginan klinker. Dalam pembahasan ini beberapa parameter proses yang penting akan dibahas pula mengingat parameter-parameter inilah yang akan dipergunakan sebagai parameter pengendalian mutu proses sehingga akhirnya akan diperoleh mutu klinker yang baik sesuai dengan spesifikasi yang sudah ditetapkan.

2. Aspek Kimia, Fisika , Mineral dan Energi Pada Proses Pembakaran

Untuk memproduksi klinker semen, bahan baku (raw meal) harus dipanaskan sampai ± 1450 °C sehingga terjadi proses klinkerisasi. Proses pembakaran raw meal membutuhkan kondisi oksidasi untuk menghasilkan klinker yang berwarna abu-abu kehijauan. Jika kondisi ini tidak memadai akan dihasilkan klinker yang berwarna coklat sehingga semen yang dihasilkan kekuatannya rendah dan waktu setting-nya rendah. Proses kimia fisika penting yang terjadi selama pembakaran adalah dehidrasi mineral tanah liat, dekarbonisasi senyawa karbonat (kalsinasi), reaksi pada fasa padat, reaksi pada fasa cair dan kristalisasi.
Perubahan bentuk kimia selama proses pembakaran ditujukkan pada tabel berikut :





Proses-proses yang terjadi di atas berlangsung sejak bahan baku diumpankan ke dalam peralatan proses (preheater) hingga saat keluar dari reaktor (kiln) dan kemudian diteruskan dengan pendinginan klinker di cooler. Berdasarkan hasil penelitian, proses pertama hingga proses kelima yaitu dekomposisi limestone didominasi oleh mekanisme perpindahan panas antara gas pembakaran dengan material bahan baku dalam ujud serbuk atau debu. Sedangkan dua proses berikutnya lebih didominasi oleh difusi material padat dan sebagian cair di dalam kiln. Oleh sebab itu untuk proses difusi ini faktor utama yang mempengaruhi jalannya proses adalah pertemuan antara oksida-oksida dan temperatur tinggi serta waktu reaksi.

3. Suspension Preheater 

Suspension preheater merupakan salah satu peralatan produksi untuk memanaskan awal bahan baku sebelum masuk ke dalam rotary kiln.  Suspension preheater terdiri dari siklon untuk memisahkan bahan baku dari gas pembawanya, riser duct yang lebih berfungsi sebagai tempat terjadinya pemanasan bahan baku (karena hampir 80% -90% pemanasan debu berlangsung di sini), dan kalsiner untuk sistem-sistem dengan proses prekalsinasi yang diawali di SP ini. Pada awalnya proses pemanasan bahan baku terjadi dengan mengalirkan gas hasil sisa proses pembakaran di kiln melalui suspension preheater ini. Namun dengan berkembangnya teknologi, di dalam suspension preheater proses pemanasan ini dapat dilanjutkan dengan proses kalsinasi sebagian dari bahan baku, asal peralatan suspension preheater ditambah dengan kalsiner yang memungkinkan
ditambahkannya bahan bakar (dan udara) untuk memenuhi kebutuhan energi yang diperlukan untuk proses kalsinasi tersebut. Peralatan terakhir ini sudah banyak ditemui untuk pabrik baru dengan kapasitas produksi yang cukup besar, dan disebut dengan suspension preheater dengan kalsiner. 





Secara skematik gambaran kedua tipe suspension preheater ini diperlihatkan pada gambar 1. Perbedaan utama kedua sistem preheater di atas adalah prosentase proses kalsinasi raw mix yang terjadi. Pada suspension preheater tanpa kalsiner, prosentase proses kalsinasi lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi di dalam preheater dengan kalsiner. Pada suspension preheater dengan kalsiner ini derajat kalsinasi raw mix (artinya prosentase bahan baku yang telah mengalami proses kalsinasi) pada saat masuk ke kiln dapat mencapai 90 - 95 %. Sedangkan pada suspension preheater tanpa kalsiner,  menurut hasil penelitian selama ini, tidak akan melebihi 40%. Sebagai konsekuensi dari pemakaian kedua jenis preheater  ini, proses yang terjadi di dalam kiln akan sedikit berbeda, demikian pula energi yang dibutuhkannya. Pada prinsipnya dengan adanya kalsiner sebagian besar proses kalsinasi dipindahkan dari kiln  ke kalsiner sehingga proses kalsinasi yang terjadi di kiln tinggal sedikit. Dengan demikian pada suspension preheater dengan kalsiner ini, di dalam kiln tinggal terjadi sedikit proses kalsinasi, klinkerisasi dan sintering, serta awal pendinginan klinker saja. Untuk itu biasanya kiln dirancang dengan demensi yang lebih pendek. 

Pada proses kalsinasi, energi yang dibutuhkan merupakan energi laten reaksi sehingga tidak untuk meningkatkan temperatur bahan baku dan sebagian atau seluruh udara pembakaran diambil dari udara pendinginan klinker di cooler yang telah merekuperasi panas pendinginan klinker. Udara pembakaran dari cooler ini disebut dengan udara tertier. Oleh karena itu di dalam kalsiner ini beda temperatur antara gas dan material paling rendah. Dengan penggunaan kalsiner ini pembakaran klinker (klinkerisasi dan sintering) dapat dilakukan pada rotary kiln yang lebih kecil dengan waktu tinggal yang tepat. Dasar pemikiran penggunaan kalsiner ini adalah bahwa rotary kiln, sebagai alat penukar panas, perpindahan panas yang efektif terjadi pada zona pembakaran (burning zone) di mana perpindahan panasnya hampir seluruhnya secara radiasi. Sedang pada tempat yang bertemperatur lebih rendah seperti zona kalsinasi perpindahan panas yang terjadi lebih didominasi oleh mekanisme konveksi tidak cukup ekonomis dilakukan di dalam kiln karena kecepatan aliran gas cukup rendah. Berdasarkan konsep pemikiran inilah, akan diperoleh penghematan energi pembakaran klinker bila proses kalsinasi dilakukan sebagian besar di luar kiln.

Penggunaan kalsiner mempunyai keuntungan sebagai berikut :

a. Diameter kiln dan thermal load-nya lebih rendah terutama untuk kiln dengan kapasitas besar. Pada sistem suspension preheater tanpa kalsiner, 100% bahan bakar dibakar di kiln. Dengan kalsiner ini, dibandingkan dengan kiln yang hanya menggunakan SP saja, maka suplai panas yang dibutuhkan di kiln hanya 35% - 50%. Biasanya sekitar 40 % bahan bakar yang dibakar di dalam kiln, sementara sisanya dibakar di dalam kalsiner.  Sebagai konsekuensinya untuk suatu ukuran kiln tertentu, dengan adanya kalsiner ini, kapasitas produksinya dapat mencapai hampir dua kali atau dua setengah kali lipat dibanding apabila kiln tersebut dipergunakan pada sistem suspension preheater tanpa kalsiner. Kapasitas kiln spesifik, dengan penggunaan kalsiner ini, bisa mencapai 4,8 TPD/m3.

b. Di dalam kalsiner dapat digunakan bahan bakar dengan kualitas rendah karena temperatur yang diinginkan di kalsiner relatif rendah (850 - 900 oC), sehingga peluang pemanfaatan bahan bakar dengan harga yang lebih murah, yang berarti dalam pengurangan ongkos produksi, dapat diperoleh.

c. Dapat mengurangi konsumsi refraktori kiln khususnya di zona pembakaran karena thermal load-nya relatif rendah dan beban pembakaran sebagian dialihkan ke kalsiner.

d. Emisi NOx-nya rendah karena pembakaran bahan bakarnya terjadi pada temperatur yang relatif rendah.

e. Operasi kiln lebih stabil sehingga bisa memperpanjang umur refraktori.

f.  Masalah senyawa yang menjalani sirkulasi (seperti alkali misalnya) relatif lebih mudah diatasi.


Selain beberapa keuntungan di atas, penggunaan kalsiner ini juga memiliki beberapa hal yang kurang meguntungkan,  di antaranya adalah:

a. Temperatur gas buang keluar dari top cyclone relatif lebih tinggi. Untuk mengatasi hal ini dirancang siklon dengan penurunan tekanan yang rendah sehingga dapat ditambah dengan siklon ke-lima sehingga secara keseluruhan suspension preheater memiliki lima tingkat siklon.

b. Temperatur klinker yang keluar dari kiln relatif lebih tinggi karena berkurangnya jumlah udara sekunder yang diperlukan di kiln. Untuk mengatasi hal ini biasanya digunakan pendingin klinker yang efektif yaitu grate cooler.

c. Penurunan tekanan total di suspension preheater lebih tinggi dibanding sistem tanpa kalsiner sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya konsumsi daya listrik pada motor ID fan. Namun hal ini biasanya dikompensasi dengan desain siklon yang hemat energi.

d. Lokasi kalsiner, ducting, tambahan alat pembakaran, duct udara tersier akan menambah kompleksnya konstruksi peralatan.



Dari uraian di atas banyak orang membedakan konfigurasi sistem kiln (SP, kiln dan cooler) menjadi dua kelompok besar yaitu :

1.     Sistem kiln tanpa udara tertier

2.     Sistem kiln dengan udara tertier



Di dalam membahas proses yang terjadi di dalam suspension preheater, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain ukuran partikel bahan baku, proses pemisahan oleh siklon dan proses pemanasan bahan baku oleh gas panas. Satu dan lainnya dari beberapa parameter tersebut saling berkaitan. Agar lebih rinci, berikut ini akan diuraikan secara singkat kaitan antara satu parameter dengan parameter lainnya.

a. Ukuran Partikel dan Separasi

Ukuran partikel bahan baku berkaitan erat dengan luas permukaan partikel bahan baku dan massa masing-masing partikel bahan baku. Luas permukaan partikel bahan baku merupakan salah satu faktor penting dalam proses perpindahan panas dari gas ke bahan baku. Sedangkan massa per partikel bahan baku sangat menentukan proses pemisahan partikel dari gas pemanasnya di dalam siklon. Raw mix yang permukaannya luas, dalam keadaan tersuspensi, laju proses perpindahan panas yang terjadi menjadi lebih tinggi dibanding yang permukaannya lebih kecil. Sedangkan partikel dengan ukuran yang lebih besar akan lebih mudah dipisahkan di dalam siklon selain masih tergantung pula pada densitas (specific gravity) dari partikel. Pada umumnya untuk partikel dengan ukuran yang sama akan lebih mudah dipisahkan di dalam siklon bila memiliki densitas yang lebih tinggi. Dalam sistem kering distribusi partikel rawmix umumnya dibuat sedemikian rupa agar residu di atas 90 mikron antara 12 – 15% dan di atas 200 mikron tidak lebih dari 2 – 3%.

b. Proses Separasi di dalam Siklon

Proses separasi bahan baku dari aliran tersuspensi di dalam gas panas terjadi sebagai akibat adanya gaya sentrifugal yang dialami oleh bahan baku sehingga partikel bahan baku akan cenderung terlempar ke dinding siklon. Proses separasi sangat dipengaruhi oleh ukuran partikel, densitas partikel, kecepatan aliran dan bentuk serta demensi siklon.

c. Perpindahan Panas di Siklon Preheater


Perpindahan panas antara gas dengan partikel bahan baku terjadi pada masing-masing saluran gas (gas duct) dan siklon di suspension preheater (SP). Pada saat perpindahan panas ini terjadi di dalam duct, aliran gas dengan aliran bahan baku mempunyai arah yang sama berlangsung secara paralel karena partikel terbawa oleh aliran gas. Tetapi jika dilihat sistem secara keseluruhan maka pada sistem SP terjadi perpindahan panas secara berlawanan (counter-current) karena arah aliran gas ke atas sedang arah aliran bahan baku ke bawah. Perpindahan panas antara gas dan material terjadi pada kondisi material yang tersuspensi. Sebagian besar perpindahan panas terjadi di gas duct, menurut literatur yaitu sekitar 80 % sedang sisanya terjadi di siklon. Namun demikian proses ini masih tergantung pada ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, perpindahan panas akan terjadi dalam waktu yang lebih singkat, sehingga tidak menutup kemungkinan seluruh proses perpindahan panas partikel berukuran kecil terjadi di dalam duct.

Waktu tinggal partikel raw mix pada preheater 4-stage dengan ketinggian kurang lebih 50 m, dari tempat feeding sampai dengan inlet kiln, kurang lebih antara 12 - 20 detik. Selama perioda ini raw mix dipanaskan dari 50oC sampai dengan 800oC atau lebih, sementara gas panas turun dari sekitar 1100 oC menjadi sekitar 330 oC. Laju gas dan material pada gas duct sekitar 20 - 22 m/detik. Waktu yang dibutuhkan untuk separasi di siklon harus diseimbangkan dan disesuaikan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan material pada pipa raw mix sehingga penyumbatan material yang mengganggu kelancaran aliran bahan baku dapat dihindari. Proses perpindahan panas antara gas dengan debu yang bervariasi ukurannya akan dibahas tersendiri.

Dengan bervariasinya kualitas material baku dan bahan bakar di suatu tempat, konfigurasi suspension preheater yang telah dikembangkan di dunia ini banyak sekali. Sebagai contoh FLS telah mengembangkan berbagai konfigurasi seperti  SP, ILC, ILC-E, SLC, SLC – I, dan SLC-S. Diantara konfigurasi tersebut yang ada di Indonesia antara lain konfigurasi SP, SLC dan SLC – S. Sedangkan KHD Jerman mengembangkan Pyroclone yang apabila dilihat fungsi atau prinsip kerjanya mirip dengan ILCnya FLS. Kawasaki mengembangkan RSP (Reinforced Suspension Preheater) calciner. Contoh lain Polysius juga mengembangkan Dopol Preheater Calciner. Masing-masing tentunya memiliki karakteristik, keunggulan dan kekurangan masing-masing pula. Beberapa model suspension preheater dan calciner diberikan dalam lampiran.

4. Rotary Kiln


Kiln berputar (rotary kiln) merupakan peralatan utama di seluruh unit pabrik semen, karena di dalam kiln akan terjadi semua proses kimia pembentukan klinker dari bahan bakunya (raw mix). Secara garis besar, di dalam kiln terbagi menjadi 3 zone yaitu zone kalsinasi, zone transisi, dan zone sintering (klinkerisasi). Perkembangan teknologi mengakibatkan sebagian zone kalsinasi dipindahkan ke suspension preheater dan kalsiner, sehingga proses yang terjadi di dalam kiln lebih efektif ditinjau dari segi konsumsi panasnya. Proses perpindahan panas di dalam kiln sebagian besar ditentukan oleh proses radiasi sehingga diperlukan isolator yang baik untuk mencegah panas terbuang keluar. Isolator tersebut adalah batu tahan api dan coating yang terbentuk selama proses. Karena fungsi batu tahan api di tiap bagian proses berbeda maka jenis batu tahan api disesuaikan dengan fungsinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan coating antara lain :

1.     komposisi kimia raw mix

2.     konduktivitas termal dari batu tahan api dan coating

3.     temperatur umpan ketika kontak dengan coating

4.     temperatur permukaan coating ketika kontak dengan umpan

5.     bentuk dan temperatur flame

Pada zone sintering fase cair sangat diperlukan, karena reaksi klinkerisasi lebih mudah berlangsung pada fase cair. Tetapi jumlah fase cair dibatasi 20-30 % untuk memudahkan terbentuknya coating yang berfungsi sebagai isolator kiln.


Pada kiln tanpa udara tertier hampir seluruh gas hasil pembakaran maupun untuk pembakaran sebagian bahan bakar di calciner melalui kiln. Karena di dalam kiln diperlukan temperatur tinggi untuk melaksanakan proses klinkerisasi, maka kelebihan udara pembakaran bahan bakar di kiln dibatasi maksimum sekitar 20 – 30%, tergantung dari bagaimana sifat rawmeal mudah tidaknya dibakar (burnability of the rawmix). Dengan demikian maksimum bahan bakar yang dibakar di in-line calciner adalah sekitar 20 – 25%. Pada umumnya calciner jenis ini bekerja dengan pembakaran bahan bakar berkisar antara 10% hingga 20% dari seluruh kebutuhan bahan bakar, karena pembakaran di calciner juga akan menghasilkan temperatur gas keluar dari top cyclone yang lebih tinggi yang berarti pemborosan energi pula. Sisa bahan bakar yang berkisar antara 80% hingga 90% dibakar di kiln. Untuk menaksir seberapa kelebihan udara pembakaran di kiln dalam rangka memperoleh operasi kiln yang baik akan dilakukan perhitungan tersendiri. Kiln tanpa udara tertier dapat beroperasi dengan cooler jenis planetary sehingga instalasi menjadi lebih sederhana dan konsumsi daya listrik lebih kecil dibanding dengan sistem kiln yang memakai cooler jenis grate.

            Pada kiln dengan udara tertier, bahan bakar yang dibakar di kiln dapat dikurangi hingga sekitar 40% saja (bahkan dapat sampai sekitar 35%), sedangkan sisanya yang 60% dibakar di calciner. Dengan demikian beban panas yang diderita di kiln berkurang hingga tinggal sekitar 300 kkal/kg klinker. Karena dimensi kiln sangat bergantung pada jumlah bahan bakar yang dibakar, maka secara teoritis kapasitas produksi kiln dengan ukuran tertentu menjadi sekitar 2,5 kali untuk sistem kiln dengan udara tertier dibanding dengan kiln tanpa udara tertier. Sebagai contoh untuk kapasitas 4000 ton per hari (TPD), kiln tanpa udara tertier membutuhkan diameter sekitar 5,5 m. Sedangkan untuk kiln dengan ukuran yang sama pada sistem dengan udara tertier misalnya sistem SLC dapat beroperasi maksimum pada kapasites sekitar 10.000 TPD. Namun kiln dengan udara tertier harus bekerja dengan cooler jenis grate cooler sehingga diperlukan daya listrik tambahan sekitar 5 kWh/ton klinker dibanding kiln dengan planetary cooler.

            Peralatan utama kiln, selain shell kiln itu sendiri adalah burner dan bata tahan api (refractory). Bentuk api yang dihasilkan oleh proses pembakaran sangat menentukan proses perpindahan panas yang terjadi dan pada akhirnya akan mementukan kualitas klinker. Sedangkan bata tahan api selain berfungsi untuk melindungi shell kiln dan mengurangi panas yang mengalir ke lingkungan juga berpengaruh terhadap pembentukan coating. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat masing-masing.

a. Burner

Di dalam rotary kiln selain jumlah panas yang dibutuhkan untuk pembakaran raw mix harus terpenuhi, perlu juga diperhatikan bentuk nyala saat pembakaran bahan bakar pada burner. Bentuk nyala ini mempengaruhi kualitas klinker yang dihasilkan. Kedua parameter ini dipengaruhi oleh proses pembakaran saat bahan bakar mulai keluar dari ujung burner hingga habis terbakar. Secara umum, pembakaran terjadi melalui 4 tahapan proses, yaitu :
Pencampuran  -  Penyalaan  -  Reaksi Kimia  -  Penyebaran Panas/Produk Pembakaran.

Untuk mendapatkan bentuk nyala yang diinginkan merupakan pekerjaan yang cukup kompleks sebab selain dengan mengatur aliran di burner tip, bentuk nyala juga dipengaruhi oleh kondisi di dalam kiln itu sendiri. Ada dua kemungkinan pengaturan bentuk nyala, yaitu :

a.   Bentuk nyala cone flame, di mana bentuk ini dihasilkan dengan komponen kecepatan aliran aksial diletakkan di bagian dalam sedang komponen radial di bagian luar.

b.  Bentuk nyala hollow cone flame, di mana bentuk ini diperoleh dengan meletakkan komponen aksial di bagian luar sedang komponen radialnya di bagian dalam.


Dari bentuk nyala ada beberapa hal penting yang berpengaruh terhadap kualitas klinker yang dihasilkan, yaitu :

a.    Laju Pembakaran (burning rate)

Laju pembakaran ini sangat berpengaruh terhadap ukuran komponen alite (C3S) yang terbentuk. Komponen alite yang berukuran kecil akan mengakibatkan klinker yang dihasilkan tidak dusty, sehingga mempunyai potensi kuat tekan yang tinggi dan proses penggilingannya mudah.

b.    Temperatur tertinggi (maksimum temperature)

Pada temperatur tertinggi yang sesuai akan dihasilkan klinker dengan litre weight yang baik, sehingga mempunyai potensi kuat tekan yang tinggi dan akan mudah digiling. Tetapi pada temperatur tertinggi yang terlalu tinggi akan dihasilkan klinker yang sifatnya berlawanan dengan sifat – sifat tersebut.

c.    Waktu pembakaran (burning time)

Kondisi ini sangat berpengaruh pada ukuran belite (C2S), yaitu kenaikan waktu pembakaran akan memperbesar ukuran belite sehingga potensi kuat tekannya akan tinggi serta akan mudah digiling. Selain itu kenaikan waktu pembakaran akan menurunkan kandungan CaO bebas.

d.    Laju pendinginan (cooling rate)


Kondisi ini sangat berpengaruh pada warna belite yang mengindikasikan struktur kristalnya. Pendinginan yang lambat akan menghasilkan klinker dengan kuat tekan yang rendah.

Proses pembakaran, perhitungan kebutuhan udara pembakaran, perhitungan kelebihan udara di setiap konfigurasi SP, dan perpindahan panas sntara gas dan material rawmeal secara lebih mendetail diberikan dalam modul tersendiri.

Hal lain yang erat sekali kaitannya dengan proses pembakaran di kiln ini adalah parameter yang disebut dengan beban panas kiln (thermal load). Dua parameter yang mewakili thermal load ini antara lain:

a.   Beban panas volumetrik (volumetric thermal load) didefinisikan sebagai produksi klinker (TPD) dibagi dengan volume bersih kiln (m3), sehingga satuan dari beban panas volumetrik adalah TPD/m3.

b.   Beban panas zona pembakaran (burning zone thermal load) adalah beban panas hasil pembakaran bahan bakar di kiln (kkal/jam atau sering ditulis kkal/h) dibagi dengan luas penampang kiln (m2). Dengan demikian satuan parameter beban panas zona pembakaran adalah kkal/h/m2.


b. Refractory Lining
Refraktori (bata tahan api) adalah material non metal yang dapat dipakai untuk konstruksi atau melapisi tungku yang beroperasi pada temperatur tinggi dan juga mampu untuk mempertahankan bentuk dan komposisi kimianya pada temperatur tinggi. Fungsi refraktori pada industri semen adalah untuk melindungi bagian metal agar tidak langsung kontak dengan nyala api atau gas/padatan yang sangat panas. Sebagai contoh shell kiln akan sangat turun kekuatannya pada temperatur di atas 400 oC sementara itu temperatur klinker berkisar 1350 - 1550 oC, serta nyala api di kiln bisa mencapai 1900 oC. Selain itu refraktori juga berfungsi untuk mencegah kehilangan panas sehingga berada pada kondisi yang masih bisa ditoleransi (12 - 22 % dari panas pembakaran). Hal ini penting untuk mempertahankan temperatur nyala sehingga proses yang terjadi di dalam kiln akan terjamin kualitasnya. Konsumsi refraktori berkisar 0,05 - 0,15 kg/ton klinker. Jadi secara ringkas fungsi refraktori adalah sebagai proteksi (pengaman operasi) kiln shell terhadap temperatur tinggi, sebagai bahan untuk memperpanjang umur teknis shell kiln , dan sebagai isolator panas. Perpindahan panas dan kerusakan bata tahan api akan dibahas tersendiri.



5. Peralatan Pendingin Klinker (Clinker Cooler)


Pendinginan klinker diperlukan karena berpengaruh terhadap struktur, komposisi mineralogi dan grindability klinker yang dihasilkan sehingga juga akan berpengaruh pada produk semen pada akhirnya serta untuk kemudahan klinker tersebut ditransport. Pendinginan klinker dilakukan dalam sebuah alat yang diberi nama pendingin klinker (clinker cooler). Proses pendinginan klinker diperlukan dengan alasan-alasan sebagai berikut :

a. Klinker panas sangat sulit untuk ditransportasikan.

b. Klinker panas berpengaruh tidak baik terhadap proses penggilingan selanjutnya.

c. Recovery panas yang terkandung pada klinker panas diperlukan untuk mengurangi biaya produksi.

d. Pendinginan klinker yang baik dapat meningkatkan kualitas dan produksi semen.


Dalam proses pendinginan klinker terdapat beberapa parameter penting yang perlu diperhatikan agar klinker yang dihasilkan memiliki sifat-sifat yang memenuhi persyaratan di atas yaitu meningkat grinabilitynya (kemudahan digiling), mudah ditransport, dan panas yang dimiliki dapat dimanfaatkan ulang untuk pemanasan udara yang dibutuhkan dalam pembakaran. Berikut ini akan diuraikan parameter-parameter yang penting dalam proses pendinginan klinker.

a. Laju Pendinginan Klinker

Laju kecepatan pendinginan klinker menentukan komposisi akhir klinker. Jika klinker yang terbentuk selama pembakaran didinginkan perlahan maka beberapa reaksi yang telah terjadi di kiln akan berbalik (reverse), sehingga C3S yang telah terbentuk di kiln akan berkurang dan terlarut pada klinker cair yang belum sempat memadat selama proses pendinginan. Dengan pendinginan cepat fasa cair akan memadat dengan cepat sehingga mencegah berkurangnya C3S.
Fasa cair yang kandungan SiO2-nya tinggi dan cair alumino-ferric yang kaya lime akan terkristalisasi sempurna pada pendinginan cepat. Laju pendinginan juga mempengaruhi keadaan kristal, reaktivitas fasa klinker dan tekstur klinker. Pendinginan klinker yang cepat berpengaruh pada perilaku dari oksida magnesium dan juga terhadap soundness dari semen yang dihasilkan. Makin cepat proses pendinginannya maka kristal periclase yang terbentuk semakin kecil yang timbul pada saat kristalisasi fasa cair. Klinker dengan pendinginan cepat menunjukkan daya spesifik yang lebih rendah. Hal ini disebabkan proporsi fasa cair yang lebih besar dan sekaligus ukuran kristalnya lebih kecil. 
 
b. Efisiensi konversi energi dalam proses pendinginan klinker.
               Efisiensi pendinginan klinker diukur berdasarkan jumlah energi yang dapat dipindahkan ke udara pendingin dibanding energi total yang terkandung di dalam klinker saat keluar dari kiln. Semakin tinggi energi yang terserap oleh udara, proses pendinginan klinker semakin efisien. Akan lebih bagus lagi bila jumlah udara yang dibutuhkan untuk pendinginan semakin sedikit (mendekati kebutuhan udara untuk pembakaran bahan bakar), karena biasanya udara sisa yang tidak dipergunakan untuk pembakaran akan dibuang kembali ke lingkungan yang dapat pula berarti merupakan tambahan kerugian energi secara keseluruhan.   Di dalam praktek terdapat dua jenis peralatan pendinginan klinker yaitu planetary cooler dan grate cooler. Berikut ini akan dijelaskan secara sepintas karakteristik masing-masing peralatan pendingin klinker tersebut.

a. Planetary Cooler

Planetary cooler terdiri atas beberapa tabung silindrik, biasanya 10 - 11 buah, silinder yang disusun di sekeliling ujung akhir rotary kiln sehingga menjadi bagian utuh dari rotary kiln tersebut. Planetary cooler berputar bersama-sama dengan rotary kiln tanpa penggerak yang terpisah. Klinker dari kiln keluar melalui lubang yang ada pada shell di ujung akhir kiln dan langsung masuk ke planetary cooler. Gerakan klinker di dalam planetary cooler paralel dengan gerakan klinker dalam kiln. Untuk mendapatkan perpindahan panas yang efektif planetary cooler dilengkapi dengan rantai metal, lifter dan sejenisnya yang berfungsi untuk menebarkan klinker dalam aliran udara yang melalui silinder cooler ini sehingga kontak antara klinker dengan udara berlangsung lebih efektif.
Kondisi tekanan negatif pada kiln akibat sedotan dari ID fan akan menarik udara dari ujung planetary cooler yang terbuka sehingga terjadi aliran counter current antara klinker dengan udara pendingin. Seluruh udara pendingin klinker pada jenis planetary cooler ini akan digunakan untuk udara pembakaran di dalam kiln. Jika klinker masuk ke dalam cooler bertemperatur 1100 - 1350 oC maka klinker dingin yang keluar bisa mencapai 120 - 270 oC. Jumlah udara pendinginnya sama dengan jumlah udara sekunder untuk pembakaran, yaitu untuk proses basah sekitar 1,3 - 1,5 Nm3/kg klinker dengan konsumsi energi spesifik 1400 kcal/kg klinker; dan proses kering sekitar 0,8 - 1,0 Nm3/kg klinker dengan konsumsi energi spesifik 750 kcal/kg klinker. Temperatur udara sekundernya bisa mencapai 840 - 850 oC pada proses kering dan mencapai 600 - 650 oC pada proses basah. Temperatur klinker bisa turun dari 1350 oC menjadi 1000 oC dalam waktu sekitar 10 menit, di mana kondisi ini hampir sama dengan pendinginan di grate cooler.

b. Grate Cooler

Pada awal pengembangannya pemakaian grate cooler dimaksudkan untuk mendapatkan laju pendinginan yang cepat untuk mengurangi pengaruh kristal periclase sehingga diperoleh kualitas klinker yang baik. Tetapi pada kenyataannya diperoleh juga perpindahan panas yang sangat baik sekali sehingga cooler jenis ini bisa menerima klinker dengan temperatur sampai dengan 1360 - 1400 oC. Dengan penggunaan udara berlebih klinker yang keluar bisa mencapai temperatur sampai dengan 65oC di atas temperatur udara sekitar sehingga bisa langsung digiling dan efisiensi perpindahan panas dari klinker ke udara dapat berkisar 72 - 75 %. Perpindahan panas terjadi pada kondisi kombinasi cross current dengan counter current antara klinker dengan udara pendinginnya. Partikel-partikel halus akan jatuh ke dalam chamber udara yang ada di bawah grate plate dan dikeluarkan menggunakan air sluice dan ditarik oleh drag chain conveyor, sementara klinker yang berukuran besar dihancurkan oleh clinker breaker, berupa hammer crusher, yang ada di ujung grate cooler. Penggunaan udaranya berkisar 1,8 - 2,4 Nm3/kg klinker dengan temperatur klinker dingin bisa mencapai 120 - 150 oC. Penggunaan udara sirkulasi dapat dilakukan pada sistem ini sehingga mengurangi udara yang terbuang keluar.

6. Pengendalian Operasi

Untuk mendapatkan jumlah produk yang maksimal, kualitas produk yang baik, penggunaan bahan bakar yang efisien serta operasi yang aman, maka operasi peralatan produksi yang telah diterangkan di atas harus dikendalikan. Dalam pengendalian operasi peralatan dikenal dua jenis parameter, yaitu parameter kontrol dan parameter variabel. Yang dimaksud dengan parameter kontrol adalah besaran yang nilainya dapat langsung diubah oleh operator pada alat kontrol sehingga dapat langsung mengubah kondisi operasi. Yang termasuk parameter kontrol antara lain :
- Speed kiln (rpm)
- Jumlah feeding (ton/jam)
- Jumlah bahan bakar, coal (ton/jam)
- Bukaan damper inlet ID fan (%) atau putaran ID fan (rpm)
- Jumlah udara pendingin pada grate cooler (m3/jam)
- dan lain-lain.
Parameter variabel merupakan besaran yang nilainya mengindikasikan kondisi suatu sistem. Parameter ini tidak bisa langsung diubah oleh operator pada alat kontrol, dan untuk mengubahnya harus mengubah parameter kontrol. Jadi parameter variabel ini merupakan konsekuensi proses apabila parameter kontrolnya berubah. Yang termasuk parameter variabel ini antara lain :
- Torsi kiln (%)
- Temperatur zone pembakaran
- Kadar O2 pada inlet dan top cyclone (%)
- Kadar CO pada inlet dan top cyclone (%)
- Temperatur top cyclone (oC)
- Temperatur bottom cyclone (oC)
- Draft top cyclone (mBar)
- Draft inlet kiln (mBar)
- dan lain-lain.
Dengan memperhatikan secara serius parameter variabel tersebut bagi engineer proses akan dapat mengetahui apakah proses produksi berjalan dengan baik atau tidak. Dengan demikian ketelitian penunjukan parameter varibel inilah yang merupakan petunjuk utama bagi engineer proses dalam mengendalikan proses. Beberapa parameter variabel pada pengoperasian peralatan produksi (suspension preheater, kiln dan cooler) dapat dijelaskan berikut ini :

a. Temperatur Zona Pembakaran (Burning Zone)

Temperatur zona pembakaran merupakan hal yang menentukan proses pembakaran di dalam kiln. Pada temperatur tinggi proses perpindahan panas secara radiasi akan semakin efektif. Ada beberapa hal yang harus dikendalikan untuk mendapat temperatur zona pembakaran yang tinggi, antara lain :
- Perbandingan bahan bakar dan udara pembakaran yang cukup.
- Momentum di burner tip cukup tinggi.
- Temperatur udara sekunder dan primer yang tinggi.
- Kualitas bahan bakar yang baik (nilai kalor bakar tinggi).
Untuk menentukan temperatur zona pembakaran yang akurat relatif sulit, kalaupun tersedia alat ukurnya (pyrometer) biasanya hanya dipakai untuk mengindikasikan trend perubahannya. Oleh sebab itu dalam operasinya penentuan temperatur zona pembakaran ini selain menggunakan alat ukur yang ada juga menggunakan parameter lain untuk mengindikasikannya antara lain temperatur bottom cyclone, torsi kiln, litre weight klinker yang dihasilkan, temperatur shell kiln.

b. Kadar Oksigen

Oksigen dengan jumlah cukup diperlukan untuk pembakaran yang sempurna. Untuk menentukan jumlah udara yang diperlukan pada pembakaran dapat dihitung setelah mengetahui jumlah komponen yang dapat dibakar di dalam bahan bakar. Dalam operasionalnya hal ini tentunya sulit untuk dilakukan sehingga untuk menentukan udara pembakaran digunakan parameter kadar oksigen dari gas hasil pembakaran sebagai parameter pengendali proses pembakaran. Pada operasi yang baik kadar oksigen dalam gas buang  ini berkisar 0,7 - 3,5 % (udara berlebih berkisar 8 - 19 %), dengan kadar optimum 1,0 - 1,5 %. Jika kadar oksigen ini terlalu rendah maka pembakarannya tidak sempurna sehingga akan terbentuk CO (panas pembakaran yang dihasilkan baru sekitar 2400 kcal/kg C ; sedangkan bila terbakar sempurna akan terbentuk CO2 dengan panas pembakaran sekitar 8100 kcal/kg C). oleh karena itu semakin tinggi kadar CO pada gas buang berarti kerugian energi pembakaran terjadi lebih banyak (di mana panas pembakarannya rendah) disamping CO ini berbahaya pada proses di electrostatic precipitator, yaitu dapat menyebabkan terjadinya ledakan.
Pada kondisi reduksi (kekurangan oksigen), C4AF bisa terurai menjadi C3A yang mempengaruhi kualitas semen, selain itu basic brick juga bisa mengalami reduksi sehingga magnesite akan kehilangan kuat tariknya dan coating akan lepas. Klinker yang dihasilkan pada kondisi reduksi mempunyai kuat tekan yang rendah. Kadar oksigen yang terlalu tinggi mengindikasikan udara pembakaran yang terlalu banyak sehingga panas yang terbuang (untuk memanaskan kelebihan udara yang tidak dipakai pada proses pembakaran) juga akan banyak dan tidak efisien. Alat analisis kadar oksigen ini biasanya paling sedikit ditempatkan di dua lokasi, yaitu di inlet kiln dan top cyclone. Posisi di inlet kiln untuk mendeteksi kondisi pembakaran di kiln secara langsung sedang yang di top cyclone selain mendeteksi kondisi pembakaran di kalsiner juga untuk mendeteksi adanya false air di sistem preheater dengan membandingkan kadar oksigen di inlet kiln dengan top cyclone. False air yang besar akan mengurangi jumlah panas yang seharusnya digunakan untuk memanaskan raw mix pada proses perpindahan panas yang terjadi di suspension preheater dan kalsiner.

c. Kadar Karbon Monoksida

Kadar CO mengindikasikan kondisi pembakaran tidak sempurna. Sebaiknya tidak ada sama sekali karena nilai kalor yang dikeluarkan jauh lebih rendah dibandingkan dengan pembakaran sempurna (terbentuk CO2) dan jika bereaksi lanjut dengan oksigen akan menimbulkan panas (ledakan). Akan tetapi dalam proses normal biasanya berada pada tingkat 0,01 - 0,02 %. Jika sudah mencapai 1 % operasi EP akan distop untuk mencegah terjadinya ledakan di EP.

d. Kadar N0x

Pada gas hasil pembakaran N0x yang ada merupakan hasil dari dua proses, yaitu :
a. N0x thermal, di mana pembentukannya berasal dari udara yang dipanaskan pada temperatur tinggi. Pada temperatur tinggi oksigen dan nitrogen mengalami dissosiasi sehingga bisa terbentuk N0x. Jumlah bergantung pada temperatur gas, waktu di mana gas mengalami temperatur tinggi dan laju pendinginan campuran gas tersebut. Normalnya pada temperatur dalam kiln 1600 - 1700 oC secara teoritis kadar N0x pada gas hasil sekitar 50 ppm.
b. N0x bahan bakar. Coal biasanya mengandung komponen organik nitrogen. Komponen ini terbakar dan membentuk N0x yang bergantung pada jumlah udara yang berlebih. Makin besar kandungan oksigennya makin banyak pula N0x yang terbentuk.

Pengukuran N0x ini cukup cepat sehingga memberi gambaran yang segera terhadap kondisi pembakaran di dalam kiln. Dibandingkan dengan parameter free lime dan litre weight yang membutuhkan waktu maka parameter N0x sangat membantu dalam pengendalian operasi pembakaran.

e. Torsi Kiln

Parameter ini merupakan modifikasi dari nilai parameter ampere motor dari main drive kiln dan mengindikasikan kondisi material yang ada di dalam kiln. Harganya pada kondisi normal berkisar 50 - 55 %. Harga yang cenderung naik mengindikasikan bertambahnya fasa cair, pembakaran yang makin keras dan kualitas produk yang baik. Bila harganya menunjukkan penurunan, hal ini mengindikasikan mulai turunnya temperatur zona pembakaran dan pembakaran yang lunak.

f. Temperatur Bottom cyclone

Temperatur gas pada siklon yang terbawah digunakan untuk mengindikasikan derajat kalsinasi raw mix yang masuk ke dalam kiln. Pada temperatur 860 - 875 oC pada kiln dengan SP-calciner mengindikasikan derajat kalsinasi sekitar 90 %. Jika derajat kalsinasi raw mix yang masuk ke kiln terlalu rendah menyebabkan beban pembakaran dalam kiln akan tinggi dan tidak cukup efektif. Tetapi pada derajat kalsinasi yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya fasa cair sebelum masuk kiln yang dapat mengakibatkan terjadi blok di jalur raw mix. Sifat-sifat aliran raw mix berdasarkan temperatur adalah sebagai berikut :
T = 60 0C – 900 0C     free flowing
T = 900 0C –1200 0C sticky
T >1200 0C                 fasa cair dan free flowing

g. Temperatur Top cyclone

Parameter ini mengindikasikan kondisi gas buang dan normalnya pada 330 - 340 oC. Temperatur yang terlalu tinggi mengindikasikan jumlah bahan bakar yang terlalu banyak, tarikan udara yang terlalu banyak atau feeding yang kurang. Hal ini sangat merugikan karena gas yang keluar merupakan panas yang terbuang. Temperatur yang terlalu rendah bisa mengindikasikan temperatur pembakaran yang rendah atau tarikan udara yang cukup. Hal ini juga tidak baik karena biasanya gas ini sebagian dipergunakan untuk proses pengeringan bahan baku di raw mill. Dengan temperatur gas buang terlalu rendah energi pengeringan kurang sehingga diperlukan jumlah aliran gas yang banyak, yang berarti akan meningkatkan konsumsi motor listril mill fan.

h. Temperatur Udara Sekunder dan Tersier

Parameter ini penting untuk mendapatkan kondisi pembakaran yang baik. Selain itu mengindikasikan tingkat recovery panas yang dapat digunakan kembali sehingga menentukan jumlah bahan bakar yang diperlukan. Untuk mendapatkan temperatur yang tinggi maka proses pendinginan klinkernya harus dikendalikan dengan baik. Pada grate cooler hal ini dapat dilakukan dengan menjaga ketebalan material di atas grate juga dengan mengatur jumlah udara pendinginnya. Di samping itu kualitas klinker yang keluar dari kiln (ukuran dan distribusinya, porositas) sangat menentukan parameter ini.

i. Litre Weight Klinker

Parameter ini relatif cepat pengukurannya sehingga bisa dipakai sebagai pedoman untuk pengendalian pembakaran di kiln dan mutu klinker yang dihasilkan. Pengukuran dilakukan dengan menimbang klinker yang lolos ayakan 10 mm dan residu di atas ayakan 5 mm sebanyak 1 liter. Nilai standar litre weight klinker tergantung dari performance tiap kiln. Litre weight yang tinggi mengindikasikan kondisi zona pembakaran yang tinggi dan pembakaran yang keras.

j. Free Lime (CaO bebas)

Parameter ini mengindikasikan kesempurnaan pembakaran raw mix. Parameter ini dipengaruhi oleh temperatur burning zone, yang secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh temperatur udara sekunder yang berasal dari grate cooler sehingga pengamatan langsung dapat dilakukan dengan mengontrol udara pendingin (parameter kontrol). Jika harganya tinggi menunjukkan bahwa ada sebagian CaO yang tidak bereaksi dengan SiO2 sehingga jumlah C2S dan C3S kecil, yang tentu saja akan menurunkan kuat tekan. Jika harganya makin rendah berarti pembakaran raw mix baik. Umumnya harganya berkisar 0,5 - 1,5 %.

k. Pressure Chamber Grate Cooler

Parameter ini menunjukkan beban klinker terhadap grate. Bila tekanan pada chamber I naik, menunjukkan bahwa material bed di lokasi tersebut bertambah. Dalam hal ini harus diperkirakan apakah terdapat coating jatuh atau klinker yang berlebihan. Pressure yang tinggi mengakibatkan beban fan cooler menjadi tinggi dan selanjutnya perpindahan panas kurang efektif, serta temperatur udara sekunder yang diharapkan tinggi akan menurun. Hal ini akan mengakibatkan proses di dalam kiln berlangsung kurang baik termasuk proses pembakaran bahan bakar di burner dan kualitas kilnker yang dihasilkan.


l. Karakteristik dari volatile matter

Dalam pengendalian operasi kiln ada satu hal yang perlu diperhatikan yaitu masalah zat-zat yang terkandung di dalam rawmeal dan bahan bakar yang akan menguap pada temperatur di zona pembakaran kiln dan akan terkondensasi lagi sewaktu berada di SP. Zat tersebut sering disebut dengan volatile matter yang terdiri antara lain zat alkali, belerang dan chlor. Proses penguapan dan kondensasi yang terus berulang hingga kondisi kesetimbangan tercapai ini kadang akan mengganggu kelancaran operasi kiln dan menimbulkan sirkulasi zat volatile, khususnya untuk sistem kiln yang cukup rapat dan efisien sehingga diperlukan perioda pengeluaran zat tersebut pada saat-saat tertentu. Namun untuk sistem kiln yang relatif terbuka, yang memungkinkan mengalir keluarnya zat-zat ini, gangguan menjadi tidak seberapa.
Ada tiga aspek penting yang berkaitan dengan sirkulasi zat volatile ini antara lain:
1.     Karena zat-zat tersebut tidak dapat keluar dari material dan lama-lama menumpuk di dalam klinker, maka agar kualitas klinker tetap baik perlu dibatasi kadar maksimum zat tersebut di dalam klinker.
2.     Jika zat-zat tersebut dapat menguap, perlu pula dibatasi kadar yang dibuang ke lingkungan untuk menjaga kualitas udara lingkungan agar tetap berada dalam ambang batas yang diijinkan.
3.     Dalam operasi bila sirkulasi zat ini terlalu banyak akan dapat mengganggu sehingga perlu dibuatkan alat khusus untuk mengurangi dengan cara bypass gas ke lingkungan secara periodik. Hal ini memerlukan fasilitas dalam sistem kiln kita.
Oleh karena itu alangkah baiknya apabila kita dapat memprediksi dengan keakurasian tertentu kelakuan dari zat-zat volatile ini sehingga tidak akan menyebabkan gangguan operasi kiln. Cara yang umum dipergunakan dalam memprediksi sirkulasi zat volatile adalah dengan menyusun suatu model matematik dan kemudian mengevaluasi berdasarkan model tersebut serta mengukur di lapangan agar faktor-faktor yang tertuang dalam model kita dapat diisi nilainya sesuai hasil pengukuran lapangan. Sebagai contoh dapat diberikan pada lampiran. Dari gambar-gambar tersebut, secara matematik kalau penguapan e dan yang terkondensasi kembali V diketahui maka faktor sirkulasi K dan kandungan zat volatile yang ikut ke dalam produk klinker dapat dihitung. Sedangkan kadar zat volatile dalam rawmeal  a, dapat diketahui dari hasil analisis laboratorium.
Di lapangan, instalasi untuk menangani gangguan irkulasi zat volatile ini tentunya lebih rumit karena  terdiri dari beberapa katup/damper seperti katup di preheater, di Mill, EP dan katup by-pass gas kiln. Dengan demikian kesulitan meningkat jika model matematik akan diterapkan di lapangan. Alasan kesulitan perhitungan aplikasi model di lapangan antara lain:
1.   Evaporasi zat di burning zone sangat ditentukan oleh temperatur burning zone dan tekanan parsial zat di dalam burning zone. Namun kedua parameter ini saling bergantungan sehingga akan menyulitkan perhitungan.
2. Sifat zat berbeda antara satu dan lainnya. Sebagai contoh chlor akan terevaporasi hampir seluruhnya (100%) di dalam burning zone, sedangkan tidak seluruhnya bagi alkali. Akan tetapi adanya chlor akan meningkatkan evaporasi alkali dan sebaliknya dengan belerang karena justru akan menghambat evaporasi alkali. Karakter alkali diberikan pada gambar 3 di lampiran. Berdasarkan pengamatan FLS, nilai faktor e dan V untuk beberapa zat dan berbagai jenis konfigurasi preheater diberikan pada gambar 4 di lampiran. Perlu diingat bahwa jika nilai V adalah 1, ini berarti bahwa tidak ada zat volatile yang mengendap kembali, atau dengan kata lain praktis tidak ada sirkulasi. Nilai V ini bergantung pada apakah zat tersebut terkondensasi dalam bentuk solid atau cair. Karena suasana di sekitar terjadinya kondensasi zat adalah berdebu, pengamatan menunjukkan bahwa kondensat cenderung menempel pada debu rawmeal sehingga mempengaruhi nilai V.Nilai V di SP empat tingkat sangat kecil karena justru yang dominan adalah sirkulasi debu rawmeal antar siklon.
3.  Pengaruh adanya chlor terhadap evaporasi alkali, terutama kalium, diperlihatkan pada gambar 5 di lampiran. Unsur K dapat terevaporasi dalam dua tahap yaitu K sebagai KCl dan sebagai CL bebas K2O. Nilai e untuk KCl adalah berkisar antara 0,99 hingga 0,996 dan sebagai Cl bebas K2O adalah antara 0,1 hingga 0,4.
4.   Nilai V untuk belerang susah untuk dievaluasi karena bila bergabung dengan alkali akan memiliki sifat yang berbeda dibanding sulfur yang membentuk SO2. Belerang oksida SO2 ini akan bereaksi dengan CaCO3 di dalam SP dan mencapai hasil reaksi maksimum pada temperatur sekitar 800oC. Dan apabila gas untuk mengeringkan material baku di dalam mill terikut pula SO2 ini, maka zat ini dapat terserap ke dalam rawmeal via air yang terkandung di dalam rawmeal tersebut. Nilai V dari belerang yang terikat dalam alkali sekitar 0,15 sedangkan bila dalam bentuk gas SO2 nilai V nya adalah sekitar 0,5 berdasarkan hasil penelitian FLS.
Jika tujuan kita adalah untuk mengurangi kadar zat volatile ini di dalam klinker atau dengan kata lain memperkecil nilai R, maka salah satu usaha kita haruslah untuk meningkatkan nilai e dan V. Untuk mendapatkan nilai e yang tinggi temperatur burning zone atau dengan meninggikan silica rasio karena rawmeal akan lebih susah dibakar. Cara lain adalah menambahkan CaCl2, akan tetapi untuk beberapa sistem kiln hal ini dapat menyebabkan masalah lain.

Katup yang ideal untuk mengeluarkan sirkulasi zat volatile ini haruslah dapat dilalui gas tapi tidak dapat dilalui debu. Namun hal ini sulit diperoleh. Pengeluaran gas biasanya disertai dengan pengeluaran debu. Katup yang mendekati ideal adalah kiln panjang untuk proses basah dengan banyak rantai-rantai. Sedangkan untuk proses kering, berdasarkan nilai V, dirasa tidak perlu memasang katup pada SP. Untuk itu pada sistem kering, katup biasanya dipasang pada sisi inlet kiln sebelum gas masuk ke SP dengan by pass yang disainnya seperti diperlihatkan pada lampiran. Dengan mempertimbangkan desain agar by pass tersebut tidak tersumbat apabila gas didinginkan dengan percikan air dan desain yang bagus akan dapat ditekan kehilangan debu saat dilakukan proses pengeluaran gas tersebut hingga 2 – 3% dari feeding untuk 10% dari gas yang dikeluarkan dari sistem. Hasil pengurangan kadar alkali dengan cara mem-by-pass gas tersebut akan mengurangi kadar alkali dalam klinker seperti diperlihatkan pada lampiran.

Dari hasil pengamatan FLS, evaporasi zat volatile lebih rendah pada sistem kiln yang menggunakan calciner dibanding dengan yang tidak memakai calciner. Hal ini akan meningkatkan kadar alkali dalam klinker. Pada kasus seperti ini biasanya rawmix desainnya diubah sedemikian rupa sehingga silika rasionya ditinggikan untuk meningkatkan burnability material dan temperatur di burning zone.

Masalah lain yang dapat terjadi adalah berkurangnya coating dan problem operasional yang lain, yang biasanya ditemukan pada sistem kiln tanpa calciner dengan nilai V yang kecil dan temperatur di SP tinggi. Pada kasus seperti ini tujuan kita dalam menjaga agar operasi kiln tetap baik dan terkendali adalah mengurangi nilai K. Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi faktor evaporasi e. Dalam praktek kasus seperti ini juga dilakukan untuk menangani masalah alkali dan belerang. Caranya adalah mengurangi temperatur diburning zone dengan disertai meningkatkan kehalusan rawmeal. Dalam kasus lain evaporasi alkali dapat dikurangi dengan menambahkan belerang dalam ujud gipsum di dalam rawmeal. Untuk chlor yang memiliki evaporasi tinggi sehingga sulit untuk dikurangi nilai e-nya, serta secara umum nilai V pada SP 4 tingkat sangat kecil, maka biasanya nilai K dibatasi hingga 1 – 1,5% pada saat mau masuk kiln dengan cara membatasi kadar chlor pada rawmeal hingga 0,012% hingga 0,015% maksimum. Apabila dengan cara ini tidak dapat mengatasi peningkatan nilai K, maka by-pass gas tetap harus dilakukan seperti yang telah diterangkan saat mengatasi masalah tingginya zat volatile dalam klinker. Sevagai contoh gambar 8 pada lampiran menunjukkan hubungan antara gas yang harus di by-pass dengan kadar Cl di dalam rawmeal dan bahan bakar. Perlu sekali lagi diingat bahwa maksud dari mem-by-pass gas adalah bukan untuk menghilangkan kadar chlor tetapi menguranginya hingga batas nilai yang masih diijinkan. Beberapa nilai zat volatile yang diijinkan dalam klinker agar kualitasnya tetap baik serta dalam rawmeal agar operasi kiln dapat dikendalikan lebih mudah diberikan pula pada lampiran.


Demikian penjelasan mengenai Pengertian KILN - CALCINER PREHEATER Dalam Industri Semen





3 komentar: