Selasa, 14 April 2015

Teknologi Pembakaran Calciner - Kiln di Industri Semen


Penjelasan mengenai teknologi pembakaran calciner-kiln di industri semen adalah sebagai berikut:

1. Metode Penentuan Kelebihan Udara Pembakaran (Excess Air) :

Udara yang diperlukan untuk pembakaran pasti mengandung udara berlebih (Excess Air). Excess air merupakan parameter yang sangat penting dalam penentuan suplay bahan bakar dan kebutuhan udara pembakaran serta untuk perhitungan energi gas hasil pembakaran bahan bakar baik di kiln maupun di preheater. Kelebihan udara pembakaran di kiln dituliskan dengan Excesskiln, kelebihan udara pembakaran di preheater dituliskan dengan Excessd, dan kelebihan udara pembakaran total di kiln dan preheater dituliskan dengan Excesstot.    

a.    Menghitung excess air di kiln (excessk)

Jika kadar karbon, hidrogen, nitrogen, sulfur, dan oksigen yang terkandung dalam coal masing-masing adalah C, H, N, S,dan O, sedangkan yang terkandung dalam IDO atau HFO adalah C1, H1, N1, S1, dan O1, dan laju bahan bakar batubara dan minyak yang dibakar dikiln per kg klinker adalah Mbbkiln dan Moilk, maka jumlah mol perkilogram klinker untuk komponen bahan bakar tersebut yang diijeksikan ke kiln dapat dihitung sbb :

cx = (C / 1200 * Mbbkiln + C1 / 1200 * Moilk)                                                  (12)
hy = (H / 100 * Mbbkiln + H1 / 100 * Moilk)                                                     (13)
nz = (N / 1400 * Mbbkiln + N1 / 1400 * Moilk)                                                  (14)
sp = (S / 3200 * Mbbkiln + S1 / 3200 * Moilk)                                                   (15)
oq = (O / 1600 * Mbbkiln + O1 / 1600 * Moilk)                                                  (16)
a   = cx + hy / 4 + sp - oq / 2                                                                                 (17)

Jumlah mol total gas hasil pembakaran di kiln adalah :
A + 4,762 b
dengan :
A = cx + hy/2 +sp + 3.762 a + nz/2 + co2rkiln + H2Obbkiln                               (18)
dimana :         
co2rkiln adalah CO2 hasil kalsinasi kiln feed di kiln, dirumuskan sebagai:
            co2rkiln = ((1 - percalduct) * CO2)/22,4     [mol/kg klinker]                               (19)

H2Obbkiln (dinyatakan dalam [mol/kgcl]) adalah uap air yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar coal dan IDO di kiln, dirumuskan :
  
            H2Obbkiln = ((air / 100) * Mbbkiln + (air1 / 100) * Moilk)/18                           (20)


Dengan mengacu pada persamaan (5), maka diperoleh harga b yaitu :
                                                                                                        (21)

dimana %02k adalah kadar oksigen dalam gas buang hasil analisis Orsat pada outlet kiln (biasanya ditunjukkan di CCR).
            Dengan demikian Excessk dapat dihitung sebagai berikut :
                                    Excessk = b / a  x 100 %                                                                 (22)
yaitu prosentase excess air di kiln terhadap udara stoikiometrinya.

b.    Menghitung excess air total di preheater dan kiln (Excesstot)

Perhitungan ini berlaku untuk proses pembakaran di kiln string. Artinya injeksi bahan bakar di Calciner atau PC Duct yang mendapat aliran udara dan gas panas dari kiln. Sedangkan untuk Calciner string yang terpisah (separate line), perhitungan excess airnya sama dengan di kiln. 
Jumlah mol perkilogram klinker untuk komponen bahan bakar yang diijeksikan ke Inline Calciner atau PC duct dapat dihitung sebagai berikut :
cx1 = (C / 1200 * Mbbduct + C1 / 1200 * Moild)                                               (23)
hy1 = (H / 100 * Mbbduct + H1 / 100 * Moild)                                                   (24)
nz1 = (N / 1400 * Mbbduct + N1 / 1400 * Moild)                                               (25)
sp1 = (S / 3200 * Mbbduct + S1 / 3200 * Moild)                                                 (26)
oq1 = (O / 1600 * Mbbduct + O1 / 1600 * Moild)                                               (27)
a1  = cx1 + hy1 / 4 + sp1 - oq1 / 2                                                                        (28)

Jumlah mol gas hasil pembakaran di preheater dengan menggunakan udara sisa dari kiln dan udara primer bahan bakar yang diinjeksikan ke preheater adalah :
B + 4,762 (b1 + a2)
dimana :
            B = cx1 + hy1 / 2 + sp1 + 3.762 a + nz1 / 2                                                           (29)
a2 adalah mol udara primer yang dimasukkan ke Calciner burner atau PC duct burner. 

Jumlah mol total gas yang keluar dari preheater :
A + B + 4,762 (b1 + a2) + co2rduct + H2Obbduct + (H2OR/100*KF*24 / prodcl)       (30)
dimana :          
a. co2rduct adalah mol CO2 hasil kalsinasi kiln feed di preheater per kg klinker
b. H2Obbduct adalah mol uap air yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar batu bara (coal) dan IDO di kiln per kg klinker.
c. H2OR adalah prosentase kandungan uap air dalam kiln feed yang diumpan ke preheater.
Dengan demikian didapatkan harga (b1 + a2) yaitu :

                                                                                                                                           (31)

dimana %02d adalah kadar oksigen dalam gas buang hasil analisis orsat pada outlet preheater. Sedangkan  (b1 + a2) (O2 + 3,762 N2) adalah kelebihan udara setelah dipakai untuk membakar bahan bakar di kiln dan preheater. Jadi untuk sistem kiln dan preheater, prosentase kelebihan udara dapat dihitung sbb :

                                                                                                                                           (32)

c.    Menghitung excess air di Inline Calciner atau PC duct (excessd) saja

Jika mol udara berlebih di Inline Calciner atau PC duct saja dilambangkan dengan b3, maka harga b3 ini dapat dihitung dengan persamaan :
b3 = b + a - b1
dan persentase kelebihan udara dapat dihitung sebagai berikut :
                                                                                                                   (33)

2.    Nyala api dan temperatur api

Api merupakan campuran gas-gas hasil pembakaran yang panas atau bertemperatur tinggi dimana nyala api merupakan faktor utama dalam teknologi pembakaran calciner-kiln di industri semen. Temperatur gas yang tinggi diperoleh dari kalor yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar. Kalor tersebut dipergunakan untuk meningkatkan temperatur atau memanaskan gas-gas hasil pembakaran sehingga temperaturnya menjadi tinggi. Apabila dianggap tidak ada panas yang hilang kecuali hanya untuk memanaskan produk pembakaran serta jumlah udara yang dibutuhkan pas atau sama dengan kebutuhan udara stoikiometriknya, maka temperatur akhir gas-gas hasil pembakaran merupakan temperatur adiabatik atau temperatur teoritik. Secara teoritik tempertur adiabatik ini dapat dihitung berdasarkan persamaan kekekalan energi. Temperatur api tergantung pada panas spasifik bahan bakar, komposisi bahan bakar serta temperatur udara yang dipergunakan untuk proses pembakaran. Semakin tinggi temperatur udara yang dipergunakan untuk pembakaran semakin tinggi pula temperatur teoritik api yang dihasilkan. Namun demikian temperatur udara ini tidak dapat secara langsung ditambahkan begitu saja bila kita ingin memperkirakan temperatur api teoritik antara memakai udara bertemperatur dingin dengan udara bertemperatur tinggi, karena pada temperatur yang lebih tinggi CO2 dan airakan berdisosiasi dengan derajad disosiasi yang lebih tinggi dan selama proses disosiasi akan menyerap panas. Oleh karena kompleksnya proses pembakaran, barangkali akan lebih sederhana bila diterangkan urutan proses pembakaran bahan bakar hingga diperoleh temperatur gas produk pembakaran yang tinggi. Urutan proses pembakaran tersebut antara lain:
a.  Pemanasan bahan bakar di ruang bakar (misalnya burning zone di kiln). Pemanasan ini terjadi karena temperatur bahan bakar dan udara primer yang keluar dari burner tip lebih rendah dibanding lingkungannya dimana dia disemprotkan. Jadi pemanasan ini terjadi dengan mekanisme radiasi dan konveksi dari ruang bakar ke bahan bakar. Sumber panas untuk pemanasan bahan bakar berasal dari tiga tempat yaitu dinding ruang bakar (secara radiasi), api yang sudah terbentuk sebelumnya (secara radiasi), dan temperatur udara sekunder. Perpindahan panas ini diteruskan dari permukaan bahan bakar yang biasannya untuk batubara tertutup oleh abu menuju ke bagian bahan bakar yang akan bereaksi secara konduksi. Apabila ukuran butir bahan bakar semakin kecil, pada umumnya proses perpindahan panas ini berlangsung semakin cepat. Perpindahan panas atau pemanasan ini berlangsung terus hingga temperatur bahan bakar mencapai temperatur nyalanya dimana reaksi pembakaran mulai terjadi.
b.   Reaksi kimia pembakaran. Setelah temperatur bahan bakar mencapai temperaturnyalanya, unsur yang dapat terbakar akan mulai terbakar karena bertemu dengan oksigen yang berada di udara sekitar bahan bakar. Reaksi ini terjadi khususnya untuk C, H2, dan S degan oksigen O2 dan membentuk CO2, CO, H2O, dan SO2 sambil terbentuk kalor yang dipergunakan untuk meningkatkan gas hasil pembakaran.
c.    Proses selanjutnya adalah keluarnya gas produk pembakaran dari tempat terjadinya reaksi menuju permukaan luar dan bercampur dengan gas yang sudah ada diskitar bahan bakar. Proses difusi ini berbeda antara satu jenis bahan bakar dengan bahan bakar yang lain dan kandungan abunya juga mempengaruhi karena biasanya abu akan menutup permukaan bahan bakar.
d.   Proses terakhir adalah adanya perubahan komposisi gas produk pembakaran akibat adanya proses disosiasi dan mekanisme reaksi lainnya yang sangat kompleks termasuk reaksi terbentuknya NOx.

Perlu dicatat bahwa nilai temperatur nyala dari batubara berkisar antara 450 hingga 600 oC, untuk bahan bakar minyak berkisar antara 300 – 550 oC, dan untuk bahan bakar gas sekitar 600 hingga 700 oC. Sedangkan temperatur api toritik untuk batubara sekitar 2150 oC, sedangkan untuk bahan bakar minyak dan gas berkisar pada 2120 oC dan 2050 oC. Karena tingginya temperatur api erat kaitannya dengan panjang gelombang sinar nyalanya, maka adanya distribusi temperatur api akan mengakibatkan adanya pula bentuk api. Bentuk api ini perlu diperhatikan dalam operasi kiln karena erat kaitannya dengan kualitas klinker yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh reaksi klinkerisasi yang sangat erat kaitannya dengan temperatur sekitar dimana reaksi tersebut berlangsung. Bentuk nyala api dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
a.   Temperatur udara pembakaran yang erat kaitannya dengan rekuperasi panas di cooler karena biasanya udara pembakaran sekunder diambil dari cooler.
b.    Jumlah kelebihan udara yang dipergunakan dalam proses pembakaran. Jumlah udara berlebih yang terlalu sedikit akan mengakibatkan bentuk nyala api panjang karena lamanya untuk mencapai reaksi sempurna.
c.   Laju pencampuran antara bahan bakar dan udara pembakaran. Parameter ini juga mempengaruhi laju pembakaran itu sendiri. Semakin baik proses pencampuran antara bahan bakar dan udara semakin meningkat pula laju pembakarannya.
d.    Tipe burner yang dipergunakan.
e.    Jenis dan kualitas bahan bakar yang akan dibakar.

Untuk memenuhi beberapa hal di atas agar bentuk nyala api di dalam kiln baik , perlu kiranya dilakukan kontrol pembakaran antara lain:
a.   Memilih batubara berkualitas baik misalnya kadar abu rendah, kadar belerang rendah, volatile matter cukup (tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah), dan lain-lain.
b.    Memperkaya udara primer sampai batas tertentu
c.     Meningkatkan pencampuran dengan cara memperbaiki turbulensi aliran dengan mengatur burner tip.
d.     Menjaga perbandingan antara bahan bakar dan udara yang ideal dengan cara mengontrol kadar oksigen di inlet kiln.
e.     Menaikkan temperatur udara primer dan sekunder.

Selain hal-hal di atas, hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengaruh batubara terhadap klinker dan coating yang antara lain terkait dengan komposisi abu, suasana di burning zone, dan bentuk nyala. Baiklah akan diuraikan satu-persatu:
a.    Pengaruh abu:
Abu bersifat asam yang cukup ekstrem jika dibandingkan dengan klinker. Oleh karena itu abu harus dianalisis agar kita dapat merancang komposisi rawmix yang sesuai untuk mengimbangi sifat abu. Abu terlalu asam yang tidak diimbangi akan menyebabkan fasa cair klinker memiliki kekentalan tinggi sehingga berpengaruh negatip terhadap proses pembakaran sendiri.
b.    Suasana burning zone:
Sebaiknya diusahakan agar suasana di burning zone dalam kondisi oksidasi, artinya pada keadaan normal kandungan oksigen di inlet kiln berkisar 1 – 3 % dan CO sekitar 0,01%. Jika kandungan oksigen terlalu rendah maka kadar CO akan meningkat karena pembakaran menjadi kurang sempurna. Isamping itu akan kehilangan panas karena nilai kalor berkurang sehingga beberapa akibat dapat timbul seperti:
  1. Temperatur nyala turun
  2. Daerah transisi bergeser ke depan menuju burning zone, sehingga memungkinkan raw meal masuk ke daerah burning zone dan untuk beberapa saat coating akan drop karena adanya perubahan panas. Liter weight klinker turun dan kiln menjadi dusty, akhirnya banyak debu yangkembali ke kiln dari cooler sehingga menganggu kondisi burning zone.
c.    Bentuk nyala:
Bentuk nyala erat kaitannya dengan temperatur api sehingga akan berpengaruh terhadap perpindahan panas radiasi ke raw meal yang akhirnya berpengaruh terhadap kualitas klinker.

Tolok ukur yang biasanya dipakai dalam operasi pembakaran kita baik antara lain:
1.    Konsumsi panas normal
2.    Produksi klinker sesuai yang diharapkan
3.    Distribusi temperatur shell kiln yang mencerminkan distribusi gas dan material di dalamnya dalam kondisi optimum.

3.    Teknologi Burner

Api yang terbentuk di dalam kiln misalnya, sangat tergantung salah satunya pada tipe burner yang digunakan dan pencampuran antara bahan bakar, udara primer dan udara sekunder karena dalam teori api dalam kiln digolongkan pada diffusi. Diffusi nyala api artinya adalah bahwa antara bahan bakar dan udara pembakaran, khususnya udara sekunder, dimasukkan ke ruang bakar secara terpisah. Pencampuran antara bahan bakar, udara primer dan udara sekunder dihasilkan oleh adanya energi kinetik masing-masing saat memasuki ruang bakar. Namun di dalam praktek hanya energi kinetik dari udara primer yang dapat diatur, sedangkan lainnya mengikuti atau sangat sedikit variasi pengaturannya. Energi kinetik biasanya dirumuskan berdasarkan momentum yaitu:

                                    Momentum = Lp x V     ( dalam %xm/s)

Dimana Lp adalah % udara primer dan V adalah kecepatan pada burner nozle (m/s). Pengalaman FL Smidth mengatakan biasanya untuk memperoleh api optimum diperlukan momentum sebesar 1400 (% x m/s). Namun pada kenyataannya nilai momentum ini memiliki batasan praktis karena jumlah udara primer terbatas mengingat agar selalu dicapai pemanfaatan energi semaksimal mungkin. Kecepatan pada nozle merupakan fungsi dari tekanan blower yang ada. Dengan demikian pemilihan dan penyetelan burner bukanlah hal yang mudah. Beberapa persyaratan burner antara lain:
1.   Cocok dengan konsumsi udara primer yang diperlukan dengan memakai bahan bakar yang diinginkan (tipe dan kualitas bahan bakar).
2.   Kalau mungkin serendah mungkin konsumsi udara primer yang diperlukan untuk menjaga optimumnya pemakaian bahan bakar secara keseluruhan.
3.   Mudah dan tersedia kemungkinan yang banyak untuk menyetel agar diperoleh kemudahan mengontrol api.
4.    Cocok dengan instalasi blower/fan serta instalasi lainnya yang ada.
5.   Memungkinkan membakar bahan bakar kombinasi atau dapat menampung variasi kualitas bahan bakar yang cukup lebar.
6.    Memenuhi atau cocok dengan fasilitas start up yang dimiliki.

Namun demikian operasi pembakaran dengan burner yang telah dipilih dengan persyaratan tersebut di atas masih sangat bergantung pada kinerja cooler kita serta sirkulasi debu di sekitar burner. Khusus untuk pembakaran di kiln burner yang dipilih hendaknya akan menghasilkan api yang memenuhi beberapa kriteria di bawah ini:
1.  Bata tahan api dalam kiln (kiln brick lining) tidak akan over heated dan rusak sehingga umur yang optimum dapat dicapai.
2. Temperatur dan bentuk yang dihasilkan cocok dngan kebutuhan proses klinkerisasi sehingga diperoleh kualitas klinker yang bagus. Hal ini per;lu kompromi karena temperatur yang tinggi berarti burning zone akan lebih pendek dan temperatur api yang lebih rendah akan memerlukan waktu yang lebih panjang untuk proses klinkerisasi yang sempurna.
3.  Pembakaran yang sempurna dapat diperoleh pada biaya operasi yang terendah.
Dari hal-hal di atas tampak bahwa pemilihan burner dan penyetelan api merupakan sesuatu yang tidak mudah mengingat banyaknya kriteria yang harus dipenuhi. Berikut ini diberikan beberapa contoh tentang burner dan karakteristik masing-masing sebagai gambaran.

a.    Burner untuk bahan bakar gas
Salah satu contoh burner untuk bahanbakar gas dari FLS diberikan pada gambar 3. Burner untuk gas ini dapat bekerja pada tekanan gas rendah hingga sekitar 6 bar. Namun yang perlu diingat bahwa tekanan kerja berhubungan dengan kecepatan aliran gas di nozzle. Kecepatan aliran ini tidak akan melebihi kecepatan kritis yaitu kecepatan suara 380 m/s. Kecepatan ini pada prakteknya sudah dapat dicapai walau tekanan gas hanya sekitar 0,8 bar sehingga tekanan gas yang lebih tinggi hanya akan menyebabkan adanya kompresi gas. Pada umumnya tekanan kerja di nozzle berkisar antara 0,4 – 0,8 bar dan kecepatan aliran diatur dengan mengatur tekanan gas ini.
Pada burner gas FLS tersebut  bentuk apidapat distel, karena pada nozzle aliran gas dibagi menjadi tiga yaitu aliran utama, primer dan sekunder melalui lubang konis. Rasio antara gas primer dan sekunder dapat diatur dengan mengatur posisi konis secara aksial. Penyala (igniter) yang berada ditengah berfungsi ganda yaitu sebagai penyala dan menjaga pembakaran sehingga diharapkan kestabilan api dapat diperoleh. Hal penting yang perlu diingat bahwa resiko meledak tetap ada sehingga diperlukan peralatan pengaman seperti interlock pada katup apabila terjadi kegagalan sumber listrik, fan dan lain-lain. Selain itu perlu pula instalasi dilengkapi dengan pengaman tekanan berlebih dari gas.


Perkembangan baru teknologi burner bahan bakar gas adalah centrax seperti diperlihatkan pada gambar diatas. Burner ini didesain khusus untuk pemakaian udara primer yang sedikit. Udara primer disupply dari blower.

b.    Burner untuk minyak
Salah satu contoh burner untuk minyak dari FLS diberikan pada gambar 5, yang mereka sebut dengan tie uniflow dengan satu alur (single channel). Burner diletakkan pada bagian tengah dan di luarnya terdapatpipa konsentrik untuk udara primer. Tujuan utama dari nozzle burner minyak ini adalah untuk membuat kabut minyak (atomize) dengan ukuran diameter butiran kabut yang cocok dengan proses pembakaran yang diharapkan dan terdistribusi ke dalam udara sekunder secara baik. Pengkabutan ini terjadi akibat tekanan tinggi dari pompa minyak, biasanya sekitar 25 bar dan kadang-kadang bisa mencapai 40 bar. Pada umumnya untuk suatu tekanan tertentu ukuran diameter kabut meningkat dengan meningkatnya diameter nozzle. Oleh sebab itu desain nozzle sangat penting.
Berikut ini adalah Burner bahan bakar gas tipe centrax :






Berdasarkan pengalaman, proses pembakaran minyak yang baik sangat dipengaruhi oleh energi kinetik atau momentum udara primer. Misalnya untuk burner FLS tersebut akan menghasilkan nyala yang baik bila persentase udara primer adalah sekitar 15% dan kecepatan udara primer sekitar 90 m/s sehingga momentumnya sekitar 1350 (%xm/s).  Seperti halnya burner gas, burner untuk minyak perkembangannya juga menuju pada prosentase udara primer yang semakin mengecil agar pemanfaatan konsumsi bahan bakar semakin optimum.


c.    Burner untuk batubara
Karena hampir seluruh pabrik semen di Indonesia berbahan bakar utama batubara dan tipe pabrik semennya juga bervariasi, maka tentu saja banyak sekali tipe burner yang digunakan untuk mebakar batu bara ini yang digunakan di Indonesia seperti Pillard, FLS (uniflow, swirlax, dan centrax), UBE dan lain sebagainya. Beberapa gambar dari jenis-jenis burner batubara diberikan dalam lampiran.  Apapun jenis burnernya yang lebih penting adalah bentuk nyala yang dihasilkan untuk batubara yang kita bakar karena bentuk nyala erat kaitannya dengan kualitas operasi kiln. Pengontrolan pembentukan nyala sangat kompleks karena disamping tergantung pada mekanisme bahan bakar dan udara primer yang keluar dari mulut burner, juga dipengaruhi oleh pencampurannya dengan udara sekunder dan kondisi di dalam kiln itu sendiri. Terdapat dua alternatif untuk mengatur semburan udara dan batubara serbuk yang dapat diatur secara terpisah atau sendiri-sendiri, yaitu:
  1. Komponen kecepatan aksial di bagian dalam dan komponen kecepatan radial di bagian luar yang bertujuan untuk membentuk dua daerah nyala sehingga diperoleh bentuk nyala yang disebut cone flame.
  2. Komponen kecepatan aksial di luar dan komponen kecepatan radial di dalam yang bertujuan untuk membentuk nyala yang disebut hollow cone flame atau api dengan bentuk tirus tetapi ditengahnya berlubang.



Perbedaan dari kedua bentuk api tersebut akan lebih mudah apabila diterangkan dengan gambar-gambar seperti berikut ini :



Penjelasan kedua gambar tersebut adalah sebagai berikut:

Untuk cone flame:

Titik A  :

Bagian luar, komponen radial dari gas menyebabkan nyala terpancar dengan bentuk konis sehingga pada bagian tengah akan terjadi tekanan yang lebih rendah dan diisi oleh komponen aliran aksial gas yang menyembur pada bagian tengah.

Titik B  : 

Arus balik dari gas panas hasil proses pembakaran menyebabkan hidrokarbon menjadi tinggi temperaturnya dan terurai. Pembentukan jelaga hasil pencampuran yang tidak sempurna dengan udara sekunder akan memperbaiki radiasi dari nyala.

Titik C  : 

Terjadinya perbedaan momentum yang tinggi pada daerah C ini antara gas yang keluar dari mulut burner dan udara sekunder akan mengakibatkan pencampuran dan pembakaran sangat cepat sehingga terbentuknya jelaga sangat tipis di daerah ini. Pemanasan, peruraian dan pembakaran dimulai segera dari permukaan konis dan sedikit terlambat pada bagian tengah.



Untuk hollow cone flame:

Titik A  :

Komponen kecepatan aliran radial menempati bagian dalam sehingga menyebabkan terbentuknya daerah bertekanan rendah yang luas pada bagian dalam nyala.

Titik B   : 

Daerah bertekanan rendah yang lebih luas di bagian dalam akan menyebabkan aliran balik gas hasil pembakaran sehingga tempat terjadinya temperatur maksimum lebih dekat ke kiln outlet. Pada waktu yang bersamaan terjadi pula penguraian hidrokarbon tanpa adanya udara di bagian tengah sehingga terbentuk jelaga yang lebih awal pada permukaan bagian dalam nyala, sehingga emisivitas maksimum atau perpindahan panas maksimum terjadi lebih mendekat ke arah kiln outlet.

Titik C  : 

 Kejadiannya sama dengan cone flame, hanya pada hollow cone flame persiapan pemanasan bahan bakar terjadi hampir bersamaan antara bagian dalam dan bagian luar dari hollow cone. Karena adanya peningkatan pembentukan jelaga maka nyala tipe ini cnderung lebih pendek dengan kerapatan energi yang tinggi dan lebih terang.


Berdasarkan sifat nyala dari kedua tipe nyala tersebut, apabila diterapkan pada proses pembakaran di kiln, maka tipe hollow cone flame dirasa lebih cocok karena dengan adanya sirkulasi internal dari gas panas menunjukkan kestabilan nyala yang lebih baik.




4.    Perpindahan panas antara gas dan padatan.

Perpindahan panas dari api atau gas-gas hasil pembakaran ke rawmeal merupakan salah satu tujuan dari proses pembakaran agar material rawmeal dapat bereaksi membentuk klinker dengan kualitas yang baik. Namun sayangnya temperatur gas yang tinggi tidak selalu menghasilkan perpindahan panas dari gas ke material rawmeal yang terbaik. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar perpindahan panas terjadi secara radiasi. Hanya sekitar 10% saja perpindahan panas berlangsung secara konveksi. Laju perpindahan panas radiasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
                  Q [kW/m2] = e x k x T4
dengan e adalah emisivitas nyala (maksimum bernilai 1), k adalah konstanta Stefan Boltzman dan T adalah temperatur nyala dalam Kelvin. Dalam praktek tidak mungkin meningkatkan T dengan diikuti e yang tinggi, karena pada saat yang sama dengan kenaikan T nilai e akan menurun. Jadi laju perpindahan panas Q biasanya maksimum pada temperatur yang tidak terlalu tinggi namun masih di atas temperatur klinkerisasi (sekitar 1450oC). Untuk pembakaran batubara nilai e mendekati 1 dengan tempertur api yang tidak terlalu tinggi, sedangkan untuk pembakaran minyak nilai e pada api yang dihasilkannya berkisar antara 0,7 hingga 0,9 dan kadang bisa turun hingga 0,3, serta untuk bahan bakar gas nilai e sekitar 0,2 hingga 0,6. Radiasi dari nyala sebagian langsung mengenai material rawmeal dan sebagian lagi mengenai dinding ruang bakar terlebih dulu untuk kemudian diradiasikan kembali ke material rawmeal. Namun tidak seluruh panas yang diterima oleh dinding ruang bakar diradiasikan kembali ke rawmeal, ada sebagian yang terbuang ke lingkungan. Dengan demikian menjaga agar coating tetap stabil merupakan hal yang perlu dilakukan sehingga temperatur nyala yang tinggi tetap dapat dipertahankan agar prosentase radiasi dari dinding ke material tetap tinggi. 
Panas radiasi dari api dan dinding ini utamanya mengenai permukaan luar dari tumpukan material. Kemudian panas mengalir ke bagian dalam tumpukan material dengan lambat sehingga perlu waktu cukup untuk proses klinkerisasi yang sempurna. Dengan kata lain lambatnya penjalaran panas dari permukaan ke dalam material mengakibatkan diperlukannya panjang burning zone yang cukup memadai. Putaran kiln menyebabkan perputaran dan berhamburannya butiran bakal klinker. Hal ini justru diinginkan agar perpindahan panas dapat berlangsung secara lebih cepat dan lebih merata. Keseragaman ukuran butiran bakal klinker juga menunjang proses perpindahan panas ini. Oleh sebab itu ada alasab yang menguntungkan beroperasi pada putaran kiln yang cukup tinggi untuk mengurangi waktu tinggal klinker di dalam burning zone.

Demikianlah penjelasan mengenai teknologi pembakaran calciner - kiln di industri semen, semoga bermanfaat bagi pembaca yang berkunjung di blog saya. Untuk mengetahui berbagai hal terkait industri semen, silahkan berkunjung ke blog saya yaitu industrisemen-prosespembuatansemen.blogspot.com.

Semoga sukses selalu.....








4 komentar:

  1. Betul betul expert sbg manajer energi

    BalasHapus
  2. Sangat Membantu sekali informasi2 yg di sharing oleh bapak Rahardi Mahardika di blog ini bagi kami karyawan baru Pak...

    BalasHapus