Berikut ini akan saya jelaskan mengenai pengertian Kiln - Calciner Preheater dalam industri semen.
1. Pendahuluan
Seperti
telah kita ketahui bersama bahwa semen merupakan perekat hidraulik yang
memiliki unsur-unsur utama klinker (campuran antara C3S, C2S,
C4AF, dan C3A) dan gypsum (CaSO4. 2H2O).
Klinker dibuat dengan bahan baku utama batu kapur (limestone sekitar 70% -
90%), tanah liat (clay sekitar 10% - 30 %), dan sisanya adalah bahan koreksi (0
– 10%). Bahan baku tersebut ditimbang dengan proporsi yang telah ditentukan
sesuai dngan jenis semen yang akan kita buat kemudian digiling (terutama untuk
proses kering) dan dibakar di sistem kiln.
Proses pembakaran bahan baku hingga berubah menjadi klinker serta proses
pendinginan klinker hingga bertemperatur tertentu yang aman untuk digiling
bersama gipsum sampai menjadi semen merupakan rangkaian proses pembuatan semen
yang penting. Pada tulisan ini, pembahasan untuk sementara dibatasi pada proses
pembakaran bahan baku menjadi klinker dan pendinginan klinker. Dalam pembahasan
ini beberapa parameter proses yang penting akan dibahas pula mengingat parameter-parameter
inilah yang akan dipergunakan sebagai parameter pengendalian mutu proses
sehingga akhirnya akan diperoleh mutu klinker yang baik sesuai dengan
spesifikasi yang sudah ditetapkan.
2. Aspek Kimia, Fisika , Mineral dan Energi Pada Proses Pembakaran
Untuk memproduksi klinker
semen, bahan baku (raw meal) harus dipanaskan sampai ± 1450 °C sehingga terjadi proses
klinkerisasi. Proses pembakaran raw meal membutuhkan kondisi oksidasi untuk
menghasilkan klinker yang berwarna abu-abu kehijauan. Jika kondisi ini tidak
memadai akan dihasilkan klinker yang berwarna coklat sehingga semen yang
dihasilkan kekuatannya rendah dan waktu setting-nya rendah. Proses kimia fisika
penting yang terjadi selama pembakaran adalah dehidrasi mineral tanah liat,
dekarbonisasi senyawa karbonat (kalsinasi), reaksi pada fasa padat, reaksi pada
fasa cair dan kristalisasi.
Perubahan bentuk
kimia selama proses pembakaran ditujukkan pada tabel berikut :
Proses-proses
yang terjadi di atas berlangsung sejak bahan baku diumpankan ke dalam peralatan
proses (preheater) hingga saat keluar dari reaktor (kiln) dan kemudian
diteruskan dengan pendinginan klinker di cooler. Berdasarkan hasil penelitian, proses
pertama hingga proses kelima yaitu dekomposisi limestone didominasi oleh
mekanisme perpindahan panas antara gas pembakaran dengan material bahan baku
dalam ujud serbuk atau debu. Sedangkan dua proses berikutnya lebih didominasi
oleh difusi material padat dan sebagian cair di dalam kiln. Oleh sebab itu
untuk proses difusi ini faktor utama yang mempengaruhi jalannya proses adalah
pertemuan antara oksida-oksida dan temperatur tinggi serta waktu reaksi.
3. Suspension Preheater
Suspension preheater merupakan salah satu
peralatan produksi untuk memanaskan awal bahan baku sebelum masuk ke dalam
rotary kiln. Suspension preheater
terdiri dari siklon untuk memisahkan bahan baku dari gas pembawanya, riser duct
yang lebih berfungsi sebagai tempat terjadinya pemanasan bahan baku (karena
hampir 80% -90% pemanasan debu berlangsung di sini), dan kalsiner untuk sistem-sistem
dengan proses prekalsinasi yang diawali di SP ini. Pada awalnya proses
pemanasan bahan baku terjadi dengan mengalirkan gas hasil sisa proses
pembakaran di kiln melalui suspension preheater ini. Namun dengan berkembangnya
teknologi, di dalam suspension preheater proses pemanasan ini dapat dilanjutkan
dengan proses kalsinasi sebagian dari bahan baku, asal peralatan suspension
preheater ditambah dengan kalsiner yang memungkinkan
ditambahkannya bahan bakar (dan udara) untuk
memenuhi kebutuhan energi yang diperlukan untuk proses kalsinasi tersebut.
Peralatan terakhir ini sudah banyak ditemui untuk pabrik baru dengan kapasitas
produksi yang cukup besar, dan disebut dengan suspension preheater dengan
kalsiner.
Secara skematik gambaran kedua tipe suspension preheater
ini diperlihatkan pada gambar 1. Perbedaan utama kedua sistem preheater di atas
adalah prosentase proses kalsinasi raw mix yang terjadi. Pada suspension
preheater tanpa kalsiner, prosentase proses kalsinasi lebih kecil dibandingkan
dengan yang terjadi di dalam preheater dengan kalsiner. Pada suspension
preheater dengan kalsiner ini derajat kalsinasi raw mix (artinya prosentase
bahan baku yang telah mengalami proses kalsinasi) pada saat masuk ke kiln dapat
mencapai 90 - 95 %. Sedangkan pada suspension preheater tanpa kalsiner, menurut hasil penelitian selama ini, tidak
akan melebihi 40%. Sebagai konsekuensi dari pemakaian kedua jenis preheater ini, proses yang terjadi di dalam kiln akan
sedikit berbeda, demikian pula energi yang dibutuhkannya. Pada prinsipnya
dengan adanya kalsiner sebagian besar proses kalsinasi dipindahkan dari
kiln ke kalsiner sehingga proses
kalsinasi yang terjadi di kiln tinggal sedikit. Dengan demikian pada suspension
preheater dengan kalsiner ini, di dalam kiln tinggal terjadi sedikit proses
kalsinasi, klinkerisasi dan sintering, serta awal pendinginan klinker saja.
Untuk itu biasanya kiln dirancang dengan demensi yang lebih pendek.
Pada
proses kalsinasi, energi yang dibutuhkan merupakan energi laten reaksi sehingga
tidak untuk meningkatkan temperatur bahan baku dan sebagian atau seluruh udara
pembakaran diambil dari udara pendinginan klinker di cooler yang telah
merekuperasi panas pendinginan klinker. Udara pembakaran dari cooler ini
disebut dengan udara tertier. Oleh karena itu di dalam kalsiner ini beda
temperatur antara gas dan material paling rendah. Dengan penggunaan kalsiner
ini pembakaran klinker (klinkerisasi dan sintering) dapat dilakukan pada rotary
kiln yang lebih kecil dengan waktu tinggal yang tepat. Dasar pemikiran
penggunaan kalsiner ini adalah bahwa rotary kiln, sebagai alat penukar panas,
perpindahan panas yang efektif terjadi pada zona pembakaran (burning zone) di
mana perpindahan panasnya hampir seluruhnya secara radiasi. Sedang pada tempat
yang bertemperatur lebih rendah seperti zona kalsinasi perpindahan panas yang
terjadi lebih didominasi oleh mekanisme konveksi tidak cukup ekonomis dilakukan
di dalam kiln karena kecepatan aliran gas cukup rendah. Berdasarkan konsep
pemikiran inilah, akan diperoleh penghematan energi pembakaran klinker bila
proses kalsinasi dilakukan sebagian besar di luar kiln.
Penggunaan
kalsiner mempunyai keuntungan sebagai berikut :
a. Diameter kiln dan
thermal load-nya lebih rendah terutama untuk kiln dengan kapasitas besar. Pada
sistem suspension preheater tanpa kalsiner, 100% bahan bakar dibakar di kiln.
Dengan kalsiner ini, dibandingkan dengan kiln yang hanya menggunakan SP saja,
maka suplai panas yang dibutuhkan di kiln hanya 35% - 50%. Biasanya sekitar 40
% bahan bakar yang dibakar di dalam kiln, sementara sisanya dibakar di dalam
kalsiner. Sebagai konsekuensinya untuk
suatu ukuran kiln tertentu, dengan adanya kalsiner ini, kapasitas produksinya
dapat mencapai hampir dua kali atau dua setengah kali lipat dibanding apabila
kiln tersebut dipergunakan pada sistem suspension preheater tanpa kalsiner.
Kapasitas kiln spesifik, dengan penggunaan kalsiner ini, bisa mencapai 4,8
TPD/m3.
b. Di dalam kalsiner
dapat digunakan bahan bakar dengan kualitas rendah karena temperatur yang
diinginkan di kalsiner relatif rendah (850 - 900 oC), sehingga
peluang pemanfaatan bahan bakar dengan harga yang lebih murah, yang berarti
dalam pengurangan ongkos produksi, dapat diperoleh.
c. Dapat mengurangi konsumsi
refraktori kiln khususnya di zona pembakaran karena thermal load-nya relatif
rendah dan beban pembakaran sebagian dialihkan ke kalsiner.
d. Emisi NOx-nya
rendah karena pembakaran bahan bakarnya terjadi pada temperatur yang relatif
rendah.
e. Operasi kiln lebih
stabil sehingga bisa memperpanjang umur refraktori.
f. Masalah senyawa
yang menjalani sirkulasi (seperti alkali misalnya) relatif lebih mudah diatasi.
Selain beberapa
keuntungan di atas, penggunaan kalsiner ini juga memiliki beberapa hal yang
kurang meguntungkan, di antaranya
adalah:
a. Temperatur gas
buang keluar dari top cyclone relatif lebih tinggi. Untuk mengatasi hal ini
dirancang siklon dengan penurunan tekanan yang rendah sehingga dapat ditambah
dengan siklon ke-lima sehingga secara keseluruhan suspension preheater memiliki
lima tingkat siklon.
b. Temperatur klinker
yang keluar dari kiln relatif lebih tinggi karena berkurangnya jumlah udara
sekunder yang diperlukan di kiln. Untuk mengatasi hal ini biasanya digunakan
pendingin klinker yang efektif yaitu grate cooler.
c. Penurunan tekanan
total di suspension preheater lebih tinggi dibanding sistem tanpa kalsiner
sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya konsumsi daya listrik pada motor ID
fan. Namun hal ini biasanya dikompensasi dengan desain siklon yang hemat
energi.
d. Lokasi kalsiner,
ducting, tambahan alat pembakaran, duct udara tersier akan menambah kompleksnya
konstruksi peralatan.
Dari uraian di atas banyak orang membedakan konfigurasi
sistem kiln (SP, kiln dan cooler) menjadi dua kelompok besar yaitu :
1.
Sistem kiln tanpa udara tertier
2.
Sistem kiln dengan udara tertier
Di dalam membahas proses yang terjadi di dalam suspension
preheater, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain ukuran
partikel bahan baku, proses pemisahan oleh siklon dan proses pemanasan bahan
baku oleh gas panas. Satu dan lainnya dari beberapa parameter tersebut saling
berkaitan. Agar lebih rinci, berikut ini akan diuraikan secara singkat kaitan
antara satu parameter dengan parameter lainnya.
a. Ukuran Partikel dan Separasi
Ukuran partikel bahan baku berkaitan erat dengan luas permukaan partikel bahan baku dan massa masing-masing partikel bahan baku. Luas permukaan partikel bahan baku merupakan salah satu faktor penting dalam proses perpindahan panas dari gas ke bahan baku. Sedangkan massa per partikel bahan baku sangat menentukan proses pemisahan partikel dari gas pemanasnya di dalam siklon. Raw mix yang permukaannya luas, dalam keadaan tersuspensi, laju proses perpindahan panas yang terjadi menjadi lebih tinggi dibanding yang permukaannya lebih kecil. Sedangkan partikel dengan ukuran yang lebih besar akan lebih mudah dipisahkan di dalam siklon selain masih tergantung pula pada densitas (specific gravity) dari partikel. Pada umumnya untuk partikel dengan ukuran yang sama akan lebih mudah dipisahkan di dalam siklon bila memiliki densitas yang lebih tinggi. Dalam sistem kering distribusi partikel rawmix umumnya dibuat sedemikian rupa agar residu di atas 90 mikron antara 12 – 15% dan di atas 200 mikron tidak lebih dari 2 – 3%.b. Proses Separasi di dalam Siklon
Proses separasi bahan baku dari aliran tersuspensi di dalam gas panas terjadi sebagai akibat adanya gaya sentrifugal yang dialami oleh bahan baku sehingga partikel bahan baku akan cenderung terlempar ke dinding siklon. Proses separasi sangat dipengaruhi oleh ukuran partikel, densitas partikel, kecepatan aliran dan bentuk serta demensi siklon.c. Perpindahan Panas di Siklon Preheater
Perpindahan panas
antara gas dengan partikel bahan baku terjadi pada masing-masing saluran gas
(gas duct) dan siklon di suspension preheater (SP). Pada saat perpindahan panas
ini terjadi di dalam duct, aliran gas dengan aliran bahan baku mempunyai arah
yang sama berlangsung secara paralel karena partikel terbawa oleh aliran gas.
Tetapi jika dilihat sistem secara keseluruhan maka pada sistem SP terjadi
perpindahan panas secara berlawanan (counter-current) karena arah aliran gas ke
atas sedang arah aliran bahan baku ke bawah. Perpindahan panas antara gas dan
material terjadi pada kondisi material yang tersuspensi. Sebagian besar
perpindahan panas terjadi di gas duct, menurut literatur yaitu sekitar 80 %
sedang sisanya terjadi di siklon. Namun demikian proses ini masih tergantung
pada ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, perpindahan panas akan
terjadi dalam waktu yang lebih singkat, sehingga tidak menutup kemungkinan
seluruh proses perpindahan panas partikel berukuran kecil terjadi di dalam
duct.
Waktu tinggal
partikel raw mix pada preheater 4-stage dengan ketinggian kurang lebih 50 m,
dari tempat feeding sampai dengan inlet kiln, kurang lebih antara 12 - 20
detik. Selama perioda ini raw mix dipanaskan dari 50oC sampai dengan
800oC atau lebih, sementara gas panas turun dari sekitar 1100 oC
menjadi sekitar 330 oC. Laju gas dan material pada gas duct sekitar
20 - 22 m/detik. Waktu yang dibutuhkan untuk separasi di siklon harus
diseimbangkan dan disesuaikan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan
material pada pipa raw mix sehingga penyumbatan material yang mengganggu
kelancaran aliran bahan baku dapat dihindari. Proses perpindahan panas antara
gas dengan debu yang bervariasi ukurannya akan dibahas tersendiri.
Dengan
bervariasinya kualitas material baku dan bahan bakar di suatu tempat,
konfigurasi suspension preheater yang telah dikembangkan di dunia ini banyak
sekali. Sebagai contoh FLS telah mengembangkan berbagai konfigurasi
seperti SP, ILC, ILC-E, SLC, SLC – I,
dan SLC-S. Diantara konfigurasi tersebut yang ada di Indonesia antara lain
konfigurasi SP, SLC dan SLC – S. Sedangkan KHD Jerman mengembangkan Pyroclone
yang apabila dilihat fungsi atau prinsip kerjanya mirip dengan ILCnya FLS.
Kawasaki mengembangkan RSP (Reinforced Suspension Preheater) calciner. Contoh
lain Polysius juga mengembangkan Dopol Preheater Calciner. Masing-masing tentunya
memiliki karakteristik, keunggulan dan kekurangan masing-masing pula. Beberapa
model suspension preheater dan calciner diberikan dalam lampiran.
4. Rotary Kiln
Kiln berputar (rotary kiln)
merupakan peralatan utama di seluruh unit pabrik semen, karena di dalam kiln
akan terjadi semua proses kimia pembentukan klinker dari bahan bakunya (raw
mix). Secara garis besar, di dalam kiln terbagi menjadi 3 zone yaitu zone
kalsinasi, zone transisi, dan zone sintering (klinkerisasi). Perkembangan
teknologi mengakibatkan sebagian zone kalsinasi dipindahkan ke suspension
preheater dan kalsiner, sehingga proses yang terjadi di dalam kiln lebih
efektif ditinjau dari segi konsumsi panasnya. Proses perpindahan panas di dalam
kiln sebagian besar ditentukan oleh proses radiasi sehingga diperlukan isolator
yang baik untuk mencegah panas terbuang keluar. Isolator tersebut adalah batu
tahan api dan coating yang terbentuk
selama proses. Karena fungsi batu tahan api di tiap bagian proses berbeda maka
jenis batu tahan api disesuaikan dengan fungsinya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan coating
antara lain :
1. komposisi
kimia raw mix
2. konduktivitas
termal dari batu tahan api dan coating
3. temperatur
umpan ketika kontak dengan coating
4. temperatur
permukaan coating ketika kontak dengan
umpan
5. bentuk
dan temperatur flame
Pada zone sintering fase cair sangat diperlukan, karena
reaksi klinkerisasi lebih mudah berlangsung pada fase cair. Tetapi jumlah fase
cair dibatasi 20-30 % untuk memudahkan terbentuknya coating yang berfungsi sebagai isolator kiln.
Pada
kiln tanpa udara tertier hampir seluruh gas hasil pembakaran maupun untuk
pembakaran sebagian bahan bakar di calciner melalui kiln. Karena di dalam kiln
diperlukan temperatur tinggi untuk melaksanakan proses klinkerisasi, maka kelebihan
udara pembakaran bahan bakar di kiln dibatasi maksimum sekitar 20 – 30%,
tergantung dari bagaimana sifat rawmeal mudah tidaknya dibakar (burnability of
the rawmix). Dengan demikian maksimum bahan bakar yang dibakar di in-line
calciner adalah sekitar 20 – 25%. Pada umumnya calciner jenis ini bekerja
dengan pembakaran bahan bakar berkisar antara 10% hingga 20% dari seluruh
kebutuhan bahan bakar, karena pembakaran di calciner juga akan menghasilkan
temperatur gas keluar dari top cyclone yang lebih tinggi yang berarti
pemborosan energi pula. Sisa bahan bakar yang berkisar antara 80% hingga 90%
dibakar di kiln. Untuk menaksir seberapa kelebihan udara pembakaran di kiln
dalam rangka memperoleh operasi kiln yang baik akan dilakukan perhitungan
tersendiri. Kiln tanpa udara tertier dapat beroperasi dengan cooler jenis
planetary sehingga instalasi menjadi lebih sederhana dan konsumsi daya listrik
lebih kecil dibanding dengan sistem kiln yang memakai cooler jenis grate.
Pada
kiln dengan udara tertier, bahan bakar yang dibakar di kiln dapat dikurangi
hingga sekitar 40% saja (bahkan dapat sampai sekitar 35%), sedangkan sisanya
yang 60% dibakar di calciner. Dengan demikian beban panas yang diderita di kiln
berkurang hingga tinggal sekitar 300 kkal/kg klinker. Karena dimensi kiln
sangat bergantung pada jumlah bahan bakar yang dibakar, maka secara teoritis
kapasitas produksi kiln dengan ukuran tertentu menjadi sekitar 2,5 kali untuk
sistem kiln dengan udara tertier dibanding dengan kiln tanpa udara tertier.
Sebagai contoh untuk kapasitas 4000 ton per hari (TPD), kiln tanpa udara
tertier membutuhkan diameter sekitar 5,5 m. Sedangkan untuk kiln dengan ukuran
yang sama pada sistem dengan udara tertier misalnya sistem SLC dapat beroperasi
maksimum pada kapasites sekitar 10.000 TPD. Namun kiln dengan udara tertier
harus bekerja dengan cooler jenis grate cooler sehingga diperlukan daya listrik
tambahan sekitar 5 kWh/ton klinker dibanding kiln dengan planetary cooler.
Peralatan
utama kiln, selain shell kiln itu sendiri adalah burner dan bata tahan api
(refractory). Bentuk api yang dihasilkan oleh proses pembakaran sangat
menentukan proses perpindahan panas yang terjadi dan pada akhirnya akan
mementukan kualitas klinker. Sedangkan bata tahan api selain berfungsi untuk
melindungi shell kiln dan mengurangi panas yang mengalir ke lingkungan juga
berpengaruh terhadap pembentukan coating. Berikut ini akan dijelaskan secara
singkat masing-masing.
a. Burner
Di dalam rotary kiln selain jumlah panas yang dibutuhkan untuk pembakaran raw mix harus terpenuhi, perlu juga diperhatikan bentuk nyala saat pembakaran bahan bakar pada burner. Bentuk nyala ini mempengaruhi kualitas klinker yang dihasilkan. Kedua parameter ini dipengaruhi oleh proses pembakaran saat bahan bakar mulai keluar dari ujung burner hingga habis terbakar. Secara umum, pembakaran terjadi melalui 4 tahapan proses, yaitu :
Pencampuran -
Penyalaan - Reaksi Kimia
- Penyebaran Panas/Produk
Pembakaran.
Untuk mendapatkan
bentuk nyala yang diinginkan merupakan pekerjaan yang cukup kompleks sebab
selain dengan mengatur aliran di burner tip, bentuk nyala juga dipengaruhi oleh
kondisi di dalam kiln itu sendiri. Ada dua kemungkinan pengaturan bentuk nyala,
yaitu :
a. Bentuk nyala cone flame, di mana bentuk ini
dihasilkan dengan komponen kecepatan aliran aksial diletakkan di bagian dalam
sedang komponen radial di bagian luar.
b. Bentuk nyala hollow cone flame, di mana bentuk ini
diperoleh dengan meletakkan komponen aksial di bagian luar sedang komponen
radialnya di bagian dalam.
Dari bentuk nyala
ada beberapa hal penting yang berpengaruh terhadap kualitas klinker yang
dihasilkan, yaitu :
a. Laju Pembakaran (burning rate)
Laju
pembakaran ini sangat berpengaruh terhadap ukuran komponen alite (C3S)
yang terbentuk. Komponen alite yang berukuran kecil akan mengakibatkan klinker
yang dihasilkan tidak dusty, sehingga
mempunyai potensi kuat tekan yang tinggi dan proses penggilingannya mudah.
b. Temperatur
tertinggi (maksimum temperature)
Pada
temperatur tertinggi yang sesuai akan dihasilkan klinker dengan litre weight
yang baik, sehingga mempunyai potensi kuat tekan yang tinggi dan akan mudah
digiling. Tetapi pada temperatur tertinggi yang terlalu tinggi akan dihasilkan
klinker yang sifatnya berlawanan dengan sifat – sifat tersebut.
c. Waktu pembakaran (burning time)
Kondisi
ini sangat berpengaruh pada ukuran belite (C2S), yaitu kenaikan
waktu pembakaran akan memperbesar ukuran belite sehingga potensi kuat tekannya
akan tinggi serta akan mudah digiling. Selain itu kenaikan waktu pembakaran
akan menurunkan kandungan CaO bebas.
d. Laju pendinginan (cooling rate)
Kondisi ini sangat berpengaruh pada warna belite yang
mengindikasikan struktur kristalnya. Pendinginan yang lambat akan menghasilkan
klinker dengan kuat tekan yang rendah.
Proses pembakaran, perhitungan kebutuhan
udara pembakaran, perhitungan kelebihan udara di setiap konfigurasi SP, dan
perpindahan panas sntara gas dan material rawmeal secara lebih mendetail
diberikan dalam modul tersendiri.
Hal lain yang erat sekali kaitannya
dengan proses pembakaran di kiln ini adalah parameter yang disebut dengan beban
panas kiln (thermal load). Dua parameter yang mewakili thermal load ini antara
lain:
a. Beban panas
volumetrik (volumetric thermal load) didefinisikan sebagai produksi klinker
(TPD) dibagi dengan volume bersih kiln (m3), sehingga satuan dari
beban panas volumetrik adalah TPD/m3.
b. Beban panas zona
pembakaran (burning zone thermal load) adalah beban panas hasil pembakaran
bahan bakar di kiln (kkal/jam atau sering ditulis kkal/h) dibagi dengan luas
penampang kiln (m2). Dengan demikian satuan parameter beban panas
zona pembakaran adalah kkal/h/m2.
b.
Refractory Lining
Refraktori (bata
tahan api) adalah material non metal yang dapat dipakai untuk konstruksi atau
melapisi tungku yang beroperasi pada temperatur tinggi dan juga mampu untuk
mempertahankan bentuk dan komposisi kimianya pada temperatur tinggi. Fungsi
refraktori pada industri semen adalah untuk melindungi bagian metal agar tidak
langsung kontak dengan nyala api atau gas/padatan yang sangat panas. Sebagai
contoh shell kiln akan sangat turun kekuatannya pada temperatur di atas 400 oC
sementara itu temperatur klinker berkisar 1350 - 1550 oC, serta
nyala api di kiln bisa mencapai 1900 oC. Selain itu refraktori juga
berfungsi untuk mencegah kehilangan panas sehingga berada pada kondisi yang
masih bisa ditoleransi (12 - 22 % dari panas pembakaran). Hal ini penting untuk
mempertahankan temperatur nyala sehingga proses yang terjadi di dalam kiln akan
terjamin kualitasnya. Konsumsi refraktori berkisar 0,05 - 0,15 kg/ton klinker.
Jadi secara ringkas fungsi refraktori adalah sebagai proteksi (pengaman
operasi) kiln shell terhadap temperatur tinggi, sebagai bahan untuk
memperpanjang umur teknis shell kiln , dan sebagai isolator panas. Perpindahan
panas dan kerusakan bata tahan api akan dibahas tersendiri.
5. Peralatan Pendingin Klinker (Clinker Cooler)
Pendinginan
klinker diperlukan karena berpengaruh terhadap struktur, komposisi mineralogi
dan grindability klinker yang dihasilkan sehingga juga akan berpengaruh pada
produk semen pada akhirnya serta untuk kemudahan klinker tersebut ditransport.
Pendinginan klinker dilakukan dalam sebuah alat yang diberi nama pendingin
klinker (clinker cooler). Proses pendinginan klinker diperlukan dengan
alasan-alasan sebagai berikut :
a. Klinker panas sangat sulit untuk ditransportasikan.
b. Klinker panas berpengaruh tidak baik terhadap proses
penggilingan selanjutnya.
c. Recovery panas yang terkandung pada klinker panas diperlukan
untuk mengurangi biaya produksi.
d.
Pendinginan klinker yang baik dapat meningkatkan kualitas dan produksi semen.
Dalam proses pendinginan klinker terdapat beberapa
parameter penting yang perlu diperhatikan agar klinker yang dihasilkan memiliki
sifat-sifat yang memenuhi persyaratan di atas yaitu meningkat grinabilitynya
(kemudahan digiling), mudah ditransport, dan panas yang dimiliki dapat
dimanfaatkan ulang untuk pemanasan udara yang dibutuhkan dalam pembakaran.
Berikut ini akan diuraikan parameter-parameter yang penting dalam proses
pendinginan klinker.
a. Laju Pendinginan Klinker
Laju kecepatan pendinginan klinker menentukan komposisi akhir klinker. Jika klinker yang terbentuk selama pembakaran didinginkan perlahan maka beberapa reaksi yang telah terjadi di kiln akan berbalik (reverse), sehingga C3S yang telah terbentuk di kiln akan berkurang dan terlarut pada klinker cair yang belum sempat memadat selama proses pendinginan. Dengan pendinginan cepat fasa cair akan memadat dengan cepat sehingga mencegah berkurangnya C3S.
Fasa
cair yang kandungan SiO2-nya tinggi dan cair alumino-ferric yang
kaya lime akan terkristalisasi sempurna pada pendinginan cepat. Laju
pendinginan juga mempengaruhi keadaan kristal, reaktivitas fasa klinker dan
tekstur klinker. Pendinginan klinker yang cepat berpengaruh pada perilaku dari
oksida magnesium dan juga terhadap soundness dari semen yang dihasilkan. Makin
cepat proses pendinginannya maka kristal periclase yang terbentuk semakin kecil
yang timbul pada saat kristalisasi fasa cair. Klinker dengan pendinginan cepat
menunjukkan daya spesifik yang lebih rendah. Hal ini disebabkan proporsi fasa
cair yang lebih besar dan sekaligus ukuran kristalnya lebih kecil.
b. Efisiensi konversi energi dalam proses pendinginan
klinker.
Efisiensi pendinginan klinker diukur
berdasarkan jumlah energi yang dapat dipindahkan ke udara pendingin dibanding
energi total yang terkandung di dalam klinker saat keluar dari kiln. Semakin
tinggi energi yang terserap oleh udara, proses pendinginan klinker semakin
efisien. Akan lebih bagus lagi bila jumlah udara yang dibutuhkan untuk
pendinginan semakin sedikit (mendekati kebutuhan udara untuk pembakaran bahan
bakar), karena biasanya udara sisa yang tidak dipergunakan untuk pembakaran
akan dibuang kembali ke lingkungan yang dapat pula berarti merupakan tambahan
kerugian energi secara keseluruhan. Di
dalam praktek terdapat dua jenis peralatan pendinginan klinker yaitu planetary
cooler dan grate cooler. Berikut ini akan dijelaskan secara sepintas
karakteristik masing-masing peralatan pendingin klinker tersebut.
a. Planetary Cooler
Planetary cooler
terdiri atas beberapa tabung silindrik, biasanya 10 - 11 buah, silinder yang
disusun di sekeliling ujung akhir rotary kiln sehingga menjadi bagian utuh dari
rotary kiln tersebut. Planetary cooler berputar bersama-sama dengan rotary kiln
tanpa penggerak yang terpisah. Klinker dari kiln keluar melalui lubang yang ada
pada shell di ujung akhir kiln dan langsung masuk ke planetary cooler. Gerakan
klinker di dalam planetary cooler paralel dengan gerakan klinker dalam kiln.
Untuk mendapatkan perpindahan panas yang efektif planetary cooler dilengkapi
dengan rantai metal, lifter dan sejenisnya yang berfungsi untuk menebarkan
klinker dalam aliran udara yang melalui silinder cooler ini sehingga kontak
antara klinker dengan udara berlangsung lebih efektif.
Kondisi tekanan
negatif pada kiln akibat sedotan dari ID fan akan menarik udara dari ujung
planetary cooler yang terbuka sehingga terjadi aliran counter current antara
klinker dengan udara pendingin. Seluruh udara pendingin klinker pada jenis
planetary cooler ini akan digunakan untuk udara pembakaran di dalam kiln. Jika
klinker masuk ke dalam cooler bertemperatur 1100 - 1350 oC maka
klinker dingin yang keluar bisa mencapai 120 - 270 oC. Jumlah udara
pendinginnya sama dengan jumlah udara sekunder untuk pembakaran, yaitu untuk
proses basah sekitar 1,3 - 1,5 Nm3/kg klinker dengan konsumsi energi
spesifik 1400 kcal/kg klinker; dan proses kering sekitar 0,8 - 1,0 Nm3/kg
klinker dengan konsumsi energi spesifik 750 kcal/kg klinker. Temperatur udara
sekundernya bisa mencapai 840 - 850 oC pada proses kering dan
mencapai 600 - 650 oC pada proses basah. Temperatur klinker bisa
turun dari 1350 oC menjadi 1000 oC dalam waktu sekitar 10
menit, di mana kondisi ini hampir sama dengan pendinginan di grate cooler.
b. Grate Cooler
Pada awal
pengembangannya pemakaian grate cooler dimaksudkan untuk mendapatkan laju
pendinginan yang cepat untuk mengurangi pengaruh kristal periclase sehingga
diperoleh kualitas klinker yang baik. Tetapi pada kenyataannya diperoleh juga
perpindahan panas yang sangat baik sekali sehingga cooler jenis ini bisa
menerima klinker dengan temperatur sampai dengan 1360 - 1400 oC.
Dengan penggunaan udara berlebih klinker yang keluar bisa mencapai temperatur
sampai dengan 65oC di atas temperatur udara sekitar sehingga bisa
langsung digiling dan efisiensi perpindahan panas dari klinker ke udara dapat
berkisar 72 - 75 %. Perpindahan panas terjadi pada kondisi kombinasi cross
current dengan counter current antara klinker dengan udara pendinginnya.
Partikel-partikel halus akan jatuh ke dalam chamber udara yang ada di bawah
grate plate dan dikeluarkan menggunakan air sluice dan ditarik oleh drag chain
conveyor, sementara klinker yang berukuran besar dihancurkan oleh clinker
breaker, berupa hammer crusher, yang ada di ujung grate cooler. Penggunaan
udaranya berkisar 1,8 - 2,4 Nm3/kg klinker dengan temperatur klinker
dingin bisa mencapai 120 - 150 oC. Penggunaan udara sirkulasi dapat
dilakukan pada sistem ini sehingga mengurangi udara yang terbuang keluar.
6. Pengendalian Operasi
Untuk mendapatkan
jumlah produk yang maksimal, kualitas produk yang baik, penggunaan bahan bakar
yang efisien serta operasi yang aman, maka operasi peralatan produksi yang
telah diterangkan di atas harus dikendalikan. Dalam pengendalian operasi
peralatan dikenal dua jenis parameter, yaitu parameter kontrol dan parameter
variabel. Yang dimaksud dengan parameter kontrol adalah besaran yang nilainya
dapat langsung diubah oleh operator pada alat kontrol sehingga dapat langsung
mengubah kondisi operasi. Yang termasuk parameter kontrol antara lain :
-
Speed kiln (rpm)
-
Jumlah feeding (ton/jam)
-
Jumlah bahan bakar, coal (ton/jam)
-
Bukaan damper inlet ID fan (%) atau putaran ID fan (rpm)
-
Jumlah udara pendingin pada grate cooler (m3/jam)
- dan
lain-lain.
Parameter variabel
merupakan besaran yang nilainya mengindikasikan kondisi suatu sistem. Parameter
ini tidak bisa langsung diubah oleh operator pada alat kontrol, dan untuk
mengubahnya harus mengubah parameter kontrol. Jadi parameter variabel ini
merupakan konsekuensi proses apabila parameter kontrolnya berubah. Yang
termasuk parameter variabel ini antara lain :
-
Torsi kiln (%)
-
Temperatur zone pembakaran
-
Kadar O2 pada inlet dan top cyclone (%)
-
Kadar CO pada inlet dan top cyclone (%)
-
Temperatur top cyclone (oC)
-
Temperatur bottom cyclone (oC)
-
Draft top cyclone (mBar)
-
Draft inlet kiln (mBar)
- dan
lain-lain.
Dengan
memperhatikan secara serius parameter variabel tersebut bagi engineer proses
akan dapat mengetahui apakah proses produksi berjalan dengan baik atau tidak.
Dengan demikian ketelitian penunjukan parameter varibel inilah yang merupakan
petunjuk utama bagi engineer proses dalam mengendalikan proses. Beberapa
parameter variabel pada pengoperasian peralatan produksi (suspension preheater,
kiln dan cooler) dapat dijelaskan berikut ini :
a. Temperatur Zona Pembakaran (Burning Zone)
Temperatur zona
pembakaran merupakan hal yang menentukan proses pembakaran di dalam kiln. Pada
temperatur tinggi proses perpindahan panas secara radiasi akan semakin efektif.
Ada beberapa hal yang harus dikendalikan untuk mendapat temperatur zona
pembakaran yang tinggi, antara lain :
-
Perbandingan bahan bakar dan udara pembakaran yang cukup.
-
Momentum di burner tip cukup tinggi.
-
Temperatur udara sekunder dan primer yang tinggi.
-
Kualitas bahan bakar yang baik (nilai kalor bakar tinggi).
Untuk menentukan
temperatur zona pembakaran yang akurat relatif sulit, kalaupun tersedia alat
ukurnya (pyrometer) biasanya hanya dipakai untuk mengindikasikan trend
perubahannya. Oleh sebab itu dalam operasinya penentuan temperatur zona
pembakaran ini selain menggunakan alat ukur yang ada juga menggunakan parameter
lain untuk mengindikasikannya antara lain temperatur bottom cyclone, torsi
kiln, litre weight klinker yang dihasilkan, temperatur shell kiln.
b. Kadar Oksigen
Oksigen dengan
jumlah cukup diperlukan untuk pembakaran yang sempurna. Untuk menentukan jumlah
udara yang diperlukan pada pembakaran dapat dihitung setelah mengetahui jumlah
komponen yang dapat dibakar di dalam bahan bakar. Dalam operasionalnya hal ini
tentunya sulit untuk dilakukan sehingga untuk menentukan udara pembakaran
digunakan parameter kadar oksigen dari gas hasil pembakaran sebagai parameter
pengendali proses pembakaran. Pada operasi yang baik kadar oksigen dalam gas
buang ini berkisar 0,7 - 3,5 % (udara
berlebih berkisar 8 - 19 %), dengan kadar optimum 1,0 - 1,5 %. Jika kadar
oksigen ini terlalu rendah maka pembakarannya tidak sempurna sehingga akan
terbentuk CO (panas pembakaran yang dihasilkan baru sekitar 2400 kcal/kg C ;
sedangkan bila terbakar sempurna akan terbentuk CO2 dengan panas
pembakaran sekitar 8100 kcal/kg C). oleh karena itu semakin tinggi kadar CO
pada gas buang berarti kerugian energi pembakaran terjadi lebih banyak (di mana
panas pembakarannya rendah) disamping CO ini berbahaya pada proses di
electrostatic precipitator, yaitu dapat menyebabkan terjadinya ledakan.
Pada kondisi reduksi
(kekurangan oksigen), C4AF bisa terurai menjadi C3A yang
mempengaruhi kualitas semen, selain itu basic
brick juga bisa mengalami reduksi sehingga magnesite akan kehilangan kuat
tariknya dan coating akan lepas.
Klinker yang dihasilkan pada kondisi reduksi mempunyai kuat tekan yang rendah.
Kadar oksigen yang terlalu tinggi mengindikasikan udara pembakaran yang terlalu
banyak sehingga panas yang terbuang (untuk memanaskan kelebihan udara yang
tidak dipakai pada proses pembakaran) juga akan banyak dan tidak efisien. Alat
analisis kadar oksigen ini biasanya paling sedikit ditempatkan di dua lokasi,
yaitu di inlet kiln dan top cyclone. Posisi di inlet kiln untuk mendeteksi
kondisi pembakaran di kiln secara langsung sedang yang di top cyclone selain
mendeteksi kondisi pembakaran di kalsiner juga untuk mendeteksi adanya false
air di sistem preheater dengan membandingkan kadar oksigen di inlet kiln dengan
top cyclone. False air yang besar akan mengurangi jumlah panas yang seharusnya
digunakan untuk memanaskan raw mix pada proses perpindahan panas yang terjadi
di suspension preheater dan kalsiner.
c. Kadar Karbon Monoksida
Kadar CO
mengindikasikan kondisi pembakaran tidak sempurna. Sebaiknya tidak ada sama
sekali karena nilai kalor yang dikeluarkan jauh lebih rendah dibandingkan
dengan pembakaran sempurna (terbentuk CO2) dan jika bereaksi lanjut
dengan oksigen akan menimbulkan panas (ledakan). Akan tetapi dalam proses
normal biasanya berada pada tingkat 0,01 - 0,02 %. Jika sudah mencapai 1 %
operasi EP akan distop untuk mencegah terjadinya ledakan di EP.
d. Kadar N0x
Pada gas hasil
pembakaran N0x yang ada merupakan hasil dari dua proses, yaitu :
a. N0x thermal, di mana pembentukannya berasal
dari udara yang dipanaskan pada temperatur tinggi. Pada temperatur tinggi oksigen
dan nitrogen mengalami dissosiasi sehingga bisa terbentuk N0x.
Jumlah bergantung pada temperatur gas, waktu di mana gas mengalami temperatur
tinggi dan laju pendinginan campuran gas tersebut. Normalnya pada temperatur
dalam kiln 1600 - 1700 oC secara teoritis kadar N0x pada
gas hasil sekitar 50 ppm.
b. N0x bahan bakar. Coal biasanya mengandung
komponen organik nitrogen. Komponen ini terbakar dan membentuk N0x
yang bergantung pada jumlah udara yang berlebih. Makin besar kandungan
oksigennya makin banyak pula N0x yang terbentuk.
Pengukuran N0x
ini cukup cepat sehingga memberi gambaran yang segera terhadap kondisi
pembakaran di dalam kiln. Dibandingkan dengan parameter free lime dan litre
weight yang membutuhkan waktu maka parameter N0x sangat membantu dalam
pengendalian operasi pembakaran.
e. Torsi Kiln
Parameter ini
merupakan modifikasi dari nilai parameter ampere motor dari main drive kiln dan
mengindikasikan kondisi material yang ada di dalam kiln. Harganya pada kondisi
normal berkisar 50 - 55 %. Harga yang cenderung naik mengindikasikan
bertambahnya fasa cair, pembakaran yang makin keras dan kualitas produk yang
baik. Bila harganya menunjukkan penurunan, hal ini mengindikasikan mulai
turunnya temperatur zona pembakaran dan pembakaran yang lunak.
f. Temperatur Bottom cyclone
Temperatur gas
pada siklon yang terbawah digunakan untuk mengindikasikan derajat kalsinasi raw
mix yang masuk ke dalam kiln. Pada temperatur 860 - 875 oC pada kiln
dengan SP-calciner mengindikasikan derajat kalsinasi sekitar 90 %. Jika derajat
kalsinasi raw mix yang masuk ke kiln terlalu rendah menyebabkan beban
pembakaran dalam kiln akan tinggi dan tidak cukup efektif. Tetapi pada derajat
kalsinasi yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya fasa cair sebelum masuk
kiln yang dapat mengakibatkan terjadi blok di jalur raw mix. Sifat-sifat aliran
raw mix berdasarkan temperatur adalah sebagai berikut :
T = 60 0C
– 900 0C free flowing
T =
900 0C –1200 0C
sticky
T >1200 0C fasa cair dan free flowing
g. Temperatur Top cyclone
Parameter ini
mengindikasikan kondisi gas buang dan normalnya pada 330 - 340 oC.
Temperatur yang terlalu tinggi mengindikasikan jumlah bahan bakar yang terlalu
banyak, tarikan udara yang terlalu banyak atau feeding yang kurang. Hal ini
sangat merugikan karena gas yang keluar merupakan panas yang terbuang.
Temperatur yang terlalu rendah bisa mengindikasikan temperatur pembakaran yang
rendah atau tarikan udara yang cukup. Hal ini juga tidak baik karena biasanya
gas ini sebagian dipergunakan untuk proses pengeringan bahan baku di raw mill.
Dengan temperatur gas buang terlalu rendah energi pengeringan kurang sehingga
diperlukan jumlah aliran gas yang banyak, yang berarti akan meningkatkan
konsumsi motor listril mill fan.
h. Temperatur Udara Sekunder dan Tersier
Parameter ini
penting untuk mendapatkan kondisi pembakaran yang baik. Selain itu
mengindikasikan tingkat recovery panas yang dapat digunakan kembali sehingga
menentukan jumlah bahan bakar yang diperlukan. Untuk mendapatkan temperatur
yang tinggi maka proses pendinginan klinkernya harus dikendalikan dengan baik.
Pada grate cooler hal ini dapat dilakukan dengan menjaga ketebalan material di
atas grate juga dengan mengatur jumlah udara pendinginnya. Di samping itu
kualitas klinker yang keluar dari kiln (ukuran dan distribusinya, porositas)
sangat menentukan parameter ini.
i. Litre Weight Klinker
Parameter ini
relatif cepat pengukurannya sehingga bisa dipakai sebagai pedoman untuk
pengendalian pembakaran di kiln dan mutu klinker yang dihasilkan. Pengukuran dilakukan
dengan menimbang klinker yang lolos ayakan 10 mm dan residu di atas ayakan 5 mm
sebanyak 1 liter. Nilai standar litre weight klinker tergantung dari performance tiap kiln. Litre weight yang
tinggi mengindikasikan kondisi zona pembakaran yang tinggi dan pembakaran yang
keras.
j. Free Lime (CaO bebas)
Parameter ini
mengindikasikan kesempurnaan pembakaran raw mix. Parameter ini dipengaruhi oleh
temperatur burning zone, yang secara
tidak langsung juga dipengaruhi oleh temperatur udara sekunder yang berasal
dari grate cooler sehingga pengamatan langsung dapat dilakukan dengan
mengontrol udara pendingin (parameter kontrol). Jika harganya tinggi
menunjukkan bahwa ada sebagian CaO yang tidak bereaksi dengan SiO2
sehingga jumlah C2S dan C3S kecil, yang tentu saja akan
menurunkan kuat tekan. Jika harganya makin rendah berarti pembakaran raw mix
baik. Umumnya harganya berkisar 0,5 - 1,5 %.
k. Pressure Chamber Grate Cooler
Parameter ini menunjukkan beban klinker terhadap grate.
Bila tekanan pada chamber I naik, menunjukkan bahwa material bed di lokasi
tersebut bertambah. Dalam hal ini harus diperkirakan apakah terdapat coating jatuh atau klinker yang
berlebihan. Pressure yang tinggi mengakibatkan beban fan cooler menjadi tinggi
dan selanjutnya perpindahan panas kurang efektif, serta temperatur udara
sekunder yang diharapkan tinggi akan menurun. Hal ini akan mengakibatkan proses
di dalam kiln berlangsung kurang baik termasuk proses pembakaran bahan bakar di
burner dan kualitas kilnker yang dihasilkan.
l. Karakteristik
dari volatile matter
Dalam pengendalian
operasi kiln ada satu hal yang perlu diperhatikan yaitu masalah zat-zat yang
terkandung di dalam rawmeal dan bahan bakar yang akan menguap pada temperatur
di zona pembakaran kiln dan akan terkondensasi lagi sewaktu berada di SP. Zat
tersebut sering disebut dengan volatile matter yang terdiri antara lain zat
alkali, belerang dan chlor. Proses penguapan dan kondensasi yang terus berulang
hingga kondisi kesetimbangan tercapai ini kadang akan mengganggu kelancaran
operasi kiln dan menimbulkan sirkulasi zat volatile, khususnya untuk sistem
kiln yang cukup rapat dan efisien sehingga diperlukan perioda pengeluaran zat
tersebut pada saat-saat tertentu. Namun untuk sistem kiln yang relatif terbuka,
yang memungkinkan mengalir keluarnya zat-zat ini, gangguan menjadi tidak
seberapa.
Ada tiga aspek penting yang
berkaitan dengan sirkulasi zat volatile ini antara lain:
1. Karena zat-zat
tersebut tidak dapat keluar dari material dan lama-lama menumpuk di dalam
klinker, maka agar kualitas klinker tetap baik perlu dibatasi kadar maksimum
zat tersebut di dalam klinker.
2. Jika zat-zat
tersebut dapat menguap, perlu pula dibatasi kadar yang dibuang ke lingkungan
untuk menjaga kualitas udara lingkungan agar tetap berada dalam ambang batas
yang diijinkan.
3. Dalam operasi bila
sirkulasi zat ini terlalu banyak akan dapat mengganggu sehingga perlu dibuatkan
alat khusus untuk mengurangi dengan cara bypass gas ke lingkungan secara
periodik. Hal ini memerlukan fasilitas dalam sistem kiln kita.
Oleh karena itu
alangkah baiknya apabila kita dapat memprediksi dengan keakurasian tertentu
kelakuan dari zat-zat volatile ini sehingga tidak akan menyebabkan gangguan
operasi kiln. Cara yang umum dipergunakan dalam memprediksi sirkulasi zat
volatile adalah dengan menyusun suatu model matematik dan kemudian mengevaluasi
berdasarkan model tersebut serta mengukur di lapangan agar faktor-faktor yang
tertuang dalam model kita dapat diisi nilainya sesuai hasil pengukuran
lapangan. Sebagai contoh dapat diberikan pada lampiran. Dari gambar-gambar
tersebut, secara matematik kalau penguapan e dan yang
terkondensasi kembali V diketahui maka faktor sirkulasi K dan kandungan zat
volatile yang ikut ke dalam produk klinker dapat dihitung. Sedangkan kadar zat
volatile dalam rawmeal a, dapat
diketahui dari hasil analisis laboratorium.
Di lapangan, instalasi untuk menangani
gangguan irkulasi zat volatile ini tentunya lebih rumit karena terdiri dari beberapa katup/damper seperti
katup di preheater, di Mill, EP dan katup by-pass gas kiln. Dengan demikian
kesulitan meningkat jika model matematik akan diterapkan di lapangan. Alasan
kesulitan perhitungan aplikasi model di lapangan antara lain:
1. Evaporasi zat di burning
zone sangat ditentukan oleh temperatur burning zone dan tekanan parsial zat di
dalam burning zone. Namun kedua parameter ini saling bergantungan sehingga akan
menyulitkan perhitungan.
2. Sifat zat berbeda
antara satu dan lainnya. Sebagai contoh chlor akan terevaporasi hampir
seluruhnya (100%) di dalam burning zone, sedangkan tidak seluruhnya bagi
alkali. Akan tetapi adanya chlor akan meningkatkan evaporasi alkali dan
sebaliknya dengan belerang karena justru akan menghambat evaporasi alkali.
Karakter alkali diberikan pada gambar 3 di lampiran. Berdasarkan pengamatan
FLS, nilai faktor e dan V untuk
beberapa zat dan berbagai jenis konfigurasi preheater diberikan pada gambar 4
di lampiran. Perlu diingat bahwa jika nilai V adalah 1, ini berarti bahwa tidak
ada zat volatile yang mengendap kembali, atau dengan kata lain praktis tidak
ada sirkulasi. Nilai V ini bergantung pada apakah zat tersebut terkondensasi
dalam bentuk solid atau cair. Karena suasana di sekitar terjadinya kondensasi
zat adalah berdebu, pengamatan menunjukkan bahwa kondensat cenderung menempel
pada debu rawmeal sehingga mempengaruhi nilai V.Nilai V di SP empat tingkat
sangat kecil karena justru yang dominan adalah sirkulasi debu rawmeal antar
siklon.
3. Pengaruh adanya
chlor terhadap evaporasi alkali, terutama kalium, diperlihatkan pada gambar 5
di lampiran. Unsur K dapat terevaporasi dalam dua tahap yaitu K sebagai KCl dan
sebagai CL bebas K2O. Nilai e untuk KCl adalah
berkisar antara 0,99 hingga 0,996 dan sebagai Cl bebas K2O adalah
antara 0,1 hingga 0,4.
4. Nilai V untuk
belerang susah untuk dievaluasi karena bila bergabung dengan alkali akan
memiliki sifat yang berbeda dibanding sulfur yang membentuk SO2.
Belerang oksida SO2 ini akan bereaksi dengan CaCO3 di
dalam SP dan mencapai hasil reaksi maksimum pada temperatur sekitar 800oC.
Dan apabila gas untuk mengeringkan material baku di dalam mill terikut pula SO2
ini, maka zat ini dapat terserap ke dalam rawmeal via air yang terkandung di
dalam rawmeal tersebut. Nilai V dari belerang yang terikat dalam alkali sekitar
0,15 sedangkan bila dalam bentuk gas SO2 nilai V nya adalah sekitar
0,5 berdasarkan hasil penelitian FLS.
Jika tujuan kita
adalah untuk mengurangi kadar zat volatile ini di dalam klinker atau dengan
kata lain memperkecil nilai R, maka salah satu usaha kita haruslah untuk
meningkatkan nilai e dan V. Untuk
mendapatkan nilai e yang tinggi
temperatur burning zone atau dengan meninggikan silica rasio karena rawmeal
akan lebih susah dibakar. Cara lain adalah menambahkan CaCl2, akan
tetapi untuk beberapa sistem kiln hal ini dapat menyebabkan masalah lain.
Katup yang ideal
untuk mengeluarkan sirkulasi zat volatile ini haruslah dapat dilalui gas tapi
tidak dapat dilalui debu. Namun hal ini sulit diperoleh. Pengeluaran gas
biasanya disertai dengan pengeluaran debu. Katup yang mendekati ideal adalah
kiln panjang untuk proses basah dengan banyak rantai-rantai. Sedangkan untuk
proses kering, berdasarkan nilai V, dirasa tidak perlu memasang katup pada SP.
Untuk itu pada sistem kering, katup biasanya dipasang pada sisi inlet kiln
sebelum gas masuk ke SP dengan by pass yang disainnya seperti diperlihatkan
pada lampiran. Dengan mempertimbangkan desain agar by pass tersebut tidak
tersumbat apabila gas didinginkan dengan percikan air dan desain yang bagus
akan dapat ditekan kehilangan debu saat dilakukan proses pengeluaran gas
tersebut hingga 2 – 3% dari feeding untuk 10% dari gas yang dikeluarkan dari
sistem. Hasil pengurangan kadar alkali dengan cara mem-by-pass gas tersebut
akan mengurangi kadar alkali dalam klinker seperti diperlihatkan pada lampiran.
Dari hasil
pengamatan FLS, evaporasi zat volatile lebih rendah pada sistem kiln yang
menggunakan calciner dibanding dengan yang tidak memakai calciner. Hal ini akan
meningkatkan kadar alkali dalam klinker. Pada kasus seperti ini biasanya rawmix
desainnya diubah sedemikian rupa sehingga silika rasionya ditinggikan untuk
meningkatkan burnability material dan temperatur di burning zone.
Masalah lain yang
dapat terjadi adalah berkurangnya coating dan problem operasional yang lain,
yang biasanya ditemukan pada sistem kiln tanpa calciner dengan nilai V yang
kecil dan temperatur di SP tinggi. Pada kasus seperti ini tujuan kita dalam
menjaga agar operasi kiln tetap baik dan terkendali adalah mengurangi nilai K.
Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi faktor evaporasi e. Dalam praktek kasus seperti ini juga
dilakukan untuk menangani masalah alkali dan belerang. Caranya adalah
mengurangi temperatur diburning zone dengan disertai meningkatkan kehalusan
rawmeal. Dalam kasus lain evaporasi alkali dapat dikurangi dengan menambahkan
belerang dalam ujud gipsum di dalam rawmeal. Untuk chlor yang memiliki
evaporasi tinggi sehingga sulit untuk dikurangi nilai e-nya, serta secara umum nilai V pada SP
4 tingkat sangat kecil, maka biasanya nilai K dibatasi hingga 1 – 1,5% pada
saat mau masuk kiln dengan cara membatasi kadar chlor pada rawmeal hingga
0,012% hingga 0,015% maksimum. Apabila dengan cara ini tidak dapat mengatasi
peningkatan nilai K, maka by-pass gas tetap harus dilakukan seperti yang telah
diterangkan saat mengatasi masalah tingginya zat volatile dalam klinker.
Sevagai contoh gambar 8 pada lampiran menunjukkan hubungan antara gas yang
harus di by-pass dengan kadar Cl di dalam rawmeal dan bahan bakar. Perlu sekali
lagi diingat bahwa maksud dari mem-by-pass gas adalah bukan untuk menghilangkan
kadar chlor tetapi menguranginya hingga batas nilai yang masih diijinkan.
Beberapa nilai zat volatile yang diijinkan dalam klinker agar kualitasnya tetap
baik serta dalam rawmeal agar operasi kiln dapat dikendalikan lebih mudah
diberikan pula pada lampiran.
Terimakasih mas, sangat membantu sekali 🙏
BalasHapusTerimakasih pak
BalasHapusMacam Macam BAHAN BAKAR PABRIK
BalasHapusbintan news
Okelah